Hongkong: Tentang Ex WNI, TKW, Pasangan Pengusaha Pengelana, Pria Jerman Yang Kesepian, dan Seorang Gadis Jepang


Perjalananku ke Hongkong 6 tahun yang lalu tak kuanggap sebagai sebuah traveling karena aku hanya menghabiskan “wiken” panjangku yang terlalu membosankan jika hanya kuhabiskan di Kuala Lumpur, tempat tinggalku saat itu. Walaupun hanya sekedar menghabiskan akhir minggu, aku berusaha perjalananku di Hongkong bisa lebih berwarna daripada hanya sekedar melakukan hal-hal klise yang sering dilakukan orang Indonesia jika datang ke negara kota ini seperti shopping, wisata kuliner dan nongkrong di Victoria Peak. Harus kuakui, kuliner dan shopping memang terlalu sayang untuk dilewatkan begitu saja…….:-p.

Aku berangkat ke Hongkong dengan ferry pukul 6 pagi dari Macau dan dilanjutkan dengan bus menuju jalan Tsim Sha Tsui di kawasan Kowloon untuk mencari penginapan. Pilihanku adalah penginapan murah di sebuah gedung apartemen tua tak terawat bernama Mirador Mansion. Ada banyak  peginapan murah di dalam Mirador Mansion. Aku hanya memilih salah satunya secara acak. Kebetulan ada beberapa kamar yang kosong di penginapan yang kupilih. Staf penginapan, seorang ibu-ibu setengah baya yang masih “terpelihara” penampilannya menyambutku dan meminta pasporku untuk pendataan.

Ketika si ibu melihat pasporku, si ibu langsung saja nyeletuk, “ Kamu dari Indonesia ya?”

“Loh, ibu kok bisa bahasa Indonesia?” tanyaku polos

“Lah, bisa toh. Saya kan lahir disana,” balas si ibu.

Ibu Lia (sebut saja begitu) pun bercerita tentang masa kecilnya di Solo. Aku tak bertanya kenapa dia pindah ke Hongkong karena semua orang pasti tahu alasannya. Sejak peristiwa G-30 S, banyak orang-orang Indonesia keturunan Cina yang terusir dari Indonesia walaupun mereka lahir dan besar di Indonesia. Sebuah diskriminasi politik yang terjadi akibat kebijakan pada masa rejim orde baru. Politik memang sering tak manusiawi ….

 Aku menghabiskan waktu ngobrol yang cukup lama dengan Bu Lia sebelum aku masuk ke kamarku. Tentunya dia merasa seperti melepas rindu setiap kali bertemu orang yang berasal dari negara tempat dia lahir.  Ibu Lia  banyak bercerita tentang masa kecilnya di Solo. Aku hanya mendengarkan saja karena aku tahu dia sedang bernostalgia. Sesekali aku mengajak Ibu Lia berbahasa Jawa dengan Bahasa Jawa versi ludrukan Jawa Timur yang sangat tidak cocok dengan Bahasa Jawa versi Solo-nya yang jauh lebih halus. Hampir satu setengah jam aku ngobrol dengannya sebelum masuk ke kamar. Di akhir obrolan, si ibu memberiku air mineral 1.5 liter gratis kepadaku sebagai hadiah…..:-)

Setelah bersih-bersih diri, aku keluar dari penginapan untuk mencari udara segar. Biasalah, jalan-jalan ngalor-ngidul nggak jelas untuk melihat suasana sambil cari makan. Aku makan noddle soup di sebuah warung makan di sebelah mansion sebelum lebih jauh menyusuri Jalan Tsim Sha Tsui. Jalan ini memang menjadi salah satu pusat keramaian Hongkong. Salah satu fenomena yang menarik di jalan ini adalah aku sering bertemu dengan kumpulan TKW asal Indonesia. Kenapa aku tahu mereka TKW Indonesia? Karena mereka ngomong pakai teriak…:-p. Para TKW ini terlihat gembira dan sangat menikmati hidup. Aku sampai bingung karena di setiap sudut jalan ini, aku selalu bertemu mereka. Mungkin TKW di Hongkong  libur kerja pada hari Sabtu, sehingga  mereka beredar dimana-mana.

Hongkong Dari Avenue Star, Kowloon

 Bosan dengan keramaian Tsim Sha Tsui, aku pergi berbagai tempat di Hongkong yang tak populer. Aku tak ingat aku berada dimana. Salah satunya adalah kawasan Aberdeen. Aku bertemu seorang penjual kukri (pisau orang Nepal) dan seorang gelandangan yang tidur dengan nyenyaknya di sebuah taman. Aku sempatkan ngobrol dengan si penjual kukri yang sudah tua, tetapi sangat fasih berbahasa Inggris. Di rumahnya yang merangkap toko itu, banyak tersimpan berbagai benda-benda antik dari seluruh dunia. Tak ada yang berkesan dalam obrolan dengannya karena dia menjawab sekenanya saja.  Menjelang sore aku pergi  ke Avenue Star dan karena ini tempat keramaian, tentu saja aku bertemu kembali dengan TKW Indonesia dan beberapa dari Filipina. Tujuanku datang ke tempat ini hanya  untuk cari objek foto, apalagi kalau bukan motret Hongkong Skyscrappers (klise sekali….:-p) di waktu malam.

Bagian Hongkong yang tak berkelap-kelip.....

Menjelang pukul 10 malam,  aku balik ke penginapan dari Avenue Stars. Aku berjalan gontai melewati lorong subway (kereta bawah tanah). Ada sebuah “pemandangan yang menarik” yang kulihat. Dua orang cacat sedang berebut tempat mengemis. Sebelum aku ke Hongkong, tak pernah terpikir kalau aku menemukan hal seperti ini. Di Jakarta, sangat terbiasa bagiku melihat pengemis yang rebutan “kavling”. Setelah dipikir-pikir, Jakarta tak berbeda jauh dari Hongkong……:-p.

Rebutan “Kavling”

Pagi-pagi sekali di hari keduaku di Hongkong, aku sudah naik kereta menuju terminal bus yang akan membawaku ke Lantau Island. Aku hampir terlambat ketika tiba di terminal bus karena sempat nyasar. Sepasang suami istri yang sangat friendly menunjukkan jalan karena mereka juga punya tujuan yang sama denganku. Kami berkenalan di dalam bus. Sepasang suami istri ini bernama Henry dan Alice. Mereka berdua menjadi teman jalanku di Lantau Island. Seperti layaknya turis di Hongkong, kami bertiga mengunjungi beberapa tempat yang populer seperti Tian Budha, Po Lin Monastery, dan lain-lain. Sepanjang perjalanan Henry tak berhenti ngomong dan aku lebih banyak mendengarkan karena  dia memang punya kisah yang cukup menarik untuk didengarkan.

Tian Budha, Lantau Island

Henry dan Alice

 Henry dan Alice lahir di Hongkong dan berimigrasi ke Kanada di tahun 80-an. Sudah puluhan tahun mereka tidak pulang ke Hongkong. Di Kanada dia membuka beberapa bisnis dan sukses. Setelah anak-anaknya selesai kuliah dan punya bisnis sendiri, Henry menjual sebagian bisnisnya dan melakukan perjalanan keliling dunia bersama istrinya, Alice. Mereka singgah di Hongkong untuk mengingat masa kecil dan muda mereka karena sudah puluhan tahun mereka tak pernah datang ke negara pulau ini lagi. Terlalu sibuk dengan bisnis adalah alasan Henry kenapa dia tak pernah kembali ke Hongkong. Sebuah alasan klise yang sering kudengar….:-p.  Aku bertanya kepada Henry kenapa dia mengajakku jalan bareng. Jawabannya memang aneh tetapi dia mengatakan bahwa dia senang bila bertemu “backpacker”. Aku terus terang bilang aku bukan seorang backpacker, tetapi seorang insinyur perminyakan yang sedang menghabiskan “wiken” panjang. Henry tak perduli dan tetap menganggapku sebagai backpacker karena cara berpakaianku….:-p. Aku senang-senang saja diajak jalan olehnya karena dia mentraktirku makan siang dan juga makanan-makanan ringan di sepanjang perjalanan. Tak ada ruginya kan?

Kami bertiga kembali ke Hongkong naik ferry karena akan terasa membosankan balik ke Hongkong naik bus yang sama  lagi. Aku dan Henry berpisah di pelabuhan Star Ferry Pulau Hongkong. Dia dan istrinya kembali menyeberang ke Kowloon dan aku menuju VictoriaPeak, bukit paling terkenal di Hongkong. Saat aku naik trem keatas puncak bukit, kembali aku bertemu dengan TKW Indonesia. Sepertinya tak ada tempat wisata di Hongkong yang tak mereka tongkrongin disaat “wiken”….:-p.

Bukan Biara Shaolin, Lantau Island

Hari masih terlalu siang untuk pemotretan malam di Victoria Peak, masih  sekitar pukul 5 sore. Pemandangan kota Hongkong tak akan terlihat dramatis tanpa lampu-lampunya yang menawan di malam hari. Menunggu hari agak gelap, aku sempat “ngider” di sekitar bukit  dan bertemu dengan seorang pria paruh baya asal Jerman bernama Karl. Dia nyasar dan sedang mencari jalan balik ke puncak Victoria Peak. Aku mengajaknya jalan bareng karen aku juga nyasar saat itu.Kan lebih baik nyasar bareng daripada nyasar sendirian…..:-p.

Hongkong Dari Victoria Peak

Hari menjelang malam ketika aku dan Karl tiba kembali di VictoriaPeak, waktu yang bagus untuk motret Hongkong landscape. Karl langsung menghilang dan aku mencari spot yang bagus untuk memotret. Aku mencoba beberapa spot dan mendapat spot yang terbagus dan agak jauh dari keramaian. Lagi asyik motret, ada seorang cewek Jepang yang tiba-tiba datang dan motret disebelahku. Kelihatannya dia putus asa karena hasil jepretannya agak buram. Motret malam tanpa tripod tentu agak sulit. Dengan shutter speed yang rendah dan bukaan diafragma yang besar, sedikit goyangan akan membuat buram foto hasil jepretan. Aku menawarkan tripod-ku, tentunya dengan imbalan bisa kenalan denganya….:-p. Dia tak menolak pertolonganku dan kami pun langsung akrab. Hisayo namanya, asli Tokyo dan sedang  jomblo. Dan, dia tinggal di penginapan yang sama denganku. Sungguh sebuah kebetulan yang sangat menyenangkan….:-p.

Sekitar pukul 8 malam, aku dan Hisayo menunggu antrian beli karcis trem untuk turun. Tak sengaja aku bertemu Karl di antrian. Aku menyapanya karena kami sudah bertemu sebelumnya. Dia sendirian saja rupanya sehingga dia sangat gembira melihatku apalagi aku bersama seorang gadis Jepang. Dia langsung saja ngobrol dengan Hisayo sampai dia lupa kalau gadis Jepang itu jalan bersamaku (@#$*%&!!).  Ketika kami sampai dibawah, Karl mau ikut dengan kami. Aku dan Hisayo berusaha membuat alasan supaya Karl tidak ikut karena kami berdua mulai terganggu dengan Karl yang tak berhenti ngomong dan berusaha mendekati Hisayo. Untungnya Hisayo lebih memilih untuk jalan bersamaku daripada Karl…:-).

Karl berjalan gontai meninggalkan kami. Aku sedikit merasa tak enak terhadapnya karena kami sempat ngobrol sebelumnya. Apa boleh buat, seleksi alam itu memang  kejam….:-p.  Terus terang, aku bersimpati pada Karl. Di umurnya yang menjelang senja dengan harga melimpah (dia seorang pengusaha), Karl masih tetap sendirian. Dia bukanlah pria Jerman paruh baya kesepian terakhir yang pernah bertemu denganku. Jujur saja, aku tak mau berakhir seperti dia, kesepian di masa tua hanya karena mengikuti ego yang tak pernah ada habisnya…..:-p.

Sisa malam kuhabiskan bersama Hisayo dan tentu saja malam itu adalah malam yang menyenangkan.. Detailnya tak akan pernah kuceritakan biar bikin penasaran….:-p.  Sayangnya, kebersamaanku bersama Hisayo sangat singkat. Aku harus kembali ke Kuala Lumpur pagi harinya. Hisayo dengan wajah sedih mengantarku ke pintu penginapan. Hisayo berjanji untuk segera menjengukku di Kuala Lumpur setelah perjalanannya di China selesai. Rupanya janji Hisayo persis petikan sebuah syair lagu cengeng tahun 80-an yang  sangat di sukai oleh pembantuku: “Janji-janji tinggal janji, bulan madu hanya mimpi”. Dia tak pernah datang dan akupun lupa…..:-p. Yup, apa boleh buat……Cinta lokasi memang bisa saja terjadi dalam perjalanan, tetapi rasanya tak lebih dari sebuah komet di langi malam yang melintas begitu cepat. So, forget it and get a life…….:-p.

Copyright: Jhon Erickson Ginting

Sumber: Pengalaman Pribadi

Copyright Photo: Jhon Erickson Ginting