Orang Naxi Dan Pemalakan Di Tiger Leaping Gorge
“Tiger Leaping Gorge” sangat populer diantara traveler yang menjelajahi Yunan, Cina. Jujur Aku tak pernah tahu soal trek ini sampai beberapa teman jalanku di Lijiang mengajakku untuk menyusurinya. Trek ini populer mungkin karena dua hal, keindahan pemandandangan di sepanjang trek dan rencana pemerintah China untuk menenggelamkan kawasan ini demi sebuah bendungan. Pemerintah Cin seakan tidak perduli dengan status Tiger Leaping Gorge yang sudah ditetapkan oleh Unesco sebagai salah satu World Heritage (warisan dunia). Jadi, sebelum tempat ini dilenyapkan tak ada salahnya untuk mampir.
Aku memulai perjalanan di trek Tiger Leaping Gorge dengan enam orang teman dari Australia, Amerika, Swedia di hari pertama dan mengakhirinya deman yang berbeda, seorang jurnalis asal Beijing yang bernama Yu pada hari yang kedua. Menjelang tengah hari, aku dan Yu menyelesaikan perjalanan trekking kami. Perut yang lapar membuat kami berdua mampir di sebuah restoran sebelum turun menuju “Tiger Leaping Gorge. Kami berdua sudah sangat kelaparan karena sejak berangkat dari pukul 6 pagi, perut kami cuma diiisi oleh noodle soup dan air mineral. Kebetulan lokasi “Tiger Leaping Gorge” atau lebih dikenal sebagai Sungai Pasir Emas (Golden Sands River) oleh penduduk lokal tepat berada dibawah restoran ini.
Yu yang tentu saja fasih berbahasa Mandarin mencari info soal “Tiger Leaping Gorge” kepada seorang pelayan di restoran. Sang pelayan memperingatkan kami untuk berhati-hati selama berada di kawasan “Tiger Leaping Gorge”. Aku memang pernah mendengar isu soal perampokan dan penondongan di kawasan ini yang sering dilakukan oleh penduduk setempat yang kebanyakan berasal dari suku Naxi. Aku tidak pernah tahu soal suku Naxi sebelumnya, tetapi pengalaman pertamaku berinteraksi dengan mereka tidak begitu bagus. Saat itu aku naik sepeda dari Lijiang untuk mengunjungi rumah Dokter Ho di desa Basha (Basha Village). Dokter Ho adalah salah satu tokoh yang diwawancarai oleh Michael Paling dalam film dokumenternya Himalaya With Michael Palin. Di salah satu sudut desa, ada seorang wanita suku Naxi yang lagi duduk minta-minta kepada turis yang lewat. Aku dan beberapa teman bersepedaku memotret wanita itu dan masing-masing dari kami memberi 5 Yuan. Si wanita Naxi tak terima dan teriak-teriak minta uang lebih. Sejak saat itu aku berpikir kalau orang Naxi tidaklah seramah orang Bai. Tapi, aku tetap merasa heran jika mereka sampai malakin orang yang lewat di “Tiger Leaping Gorge”.
Nasehat si pelayan memang ada benarnya. Baru saja kami melewati sebuah rumah yang dihuni oleh seorang nenek tua yang berpakaian tradisional orang Naxi, kami sudah “dipalak” . Nenek tua itu membuat papan pengumuman di depan halaman rumahnya dengan bahasa Inggris dan bahasa Mandarin yang mengatakan bahwa setiap orang yang melewati halaman rumahnya harus membayar 1.5 Yuan. Bah, nenek-nenek juga bisa malak disini….:-p. Kami terpaksa memberi uang 1.5 Yuan yang diminta si nenek karena disampingnya berdiri anak laki-lakinya dengan pandangan mata yang tidak mengenakkan. Dongkol juga rasanya “dipalak” nenek-nenek…..:-p
Setelah melewati rumah nenek-nenek tukang palak tadi, aku dan Yu menuruni tebing yang cukup curam. Ketika hampir sampai ke Tiger Leaping Gorge, kami bertemu dengan seorang traveler bule yang baru saja dari sana. Dia langsung menyapa kami berdua. Seperti nasehat si pelayan restoran, bule ini juga memberitahu kami supaya berhati-hati di “Tiger Leaping Gorge”. Dia merasa dipalak oleh pria bergolok yang duduk tak jauh dari tugu “Tiger Leaping Gorge”. Pria bergolok ini meminta uang kepada setiap orang yang lewat. Aku dan Yu sedikit tak percaya dengan perkataan si traveler bule. Maklumlah, kadang-kadang traveler bule terlalu berlebihan dalam melihat sebuah masalah….:-p. Tapi, kami harus membayar mahal ketidakpercayaan kami karena kami juga “dipalak” oleh pria bergolok yang dikatakan si traveler bule. Seorang laki-laki berumur sekitar 40-an duduk dengan golok yang tergeletak disampingnya. Dia meminta 2 Yuan sebagai tiket masuk. Aku dan Yuan kembali harus membayar “uang keamanan”. Daripada digolok euy……:-p.
Dengan membayar 2 Yuan, aku dan Yu diperbolehkan bernarsis ria di sekitar tugu “Tiger Leaping Gorge”. Setelah puas, kami naik kembali menuju restoran. Tapi, kali ini Yu mengajakku mengambil jalan yang berbeda. Ide Yu memang “brilian” karena membuat kami kembali menjadi korban pemalakan….:-p. Seorang perempuan muda dengan pakaian lusuh meminta uang. Menurut Yu, perempuan ini meminta uang 1.5 Yuan karena kami memasuki wilayahnya. Padahal, jarak dia dan si pria bergolok tak lebih dari 50 meter. Untuk menghindari keributan kami kembali membayar “uang keamanan”. Rupanya wilayah si perempuan tadi hanya sampai 50 meter keatas. Di ujung jalan yang mendaki, seorang laki-laki meminta “uang keamanan” lagi. Di minta 2 Yuan, tetapi Yu menawar sehingga kami hanya perlu bayar 1.5 Yuan. Seperti sebelumnya, uang keamanan 1.5 Yuan itu hanya berlaku untuk jarak 50 m. Ketika kami memasuki tebing batu yang berjarak sekitar 50m tempat kami terakhir dipalak, ada orang lagi yang mengejar kami meminta uang. Yu lama-lama kesal juga sedangkan aku diam saja. Tak tahu yang mereka perdebatkan. Tapi, yang jelas kami tak perlu membayar uang palakan lagi.
Aku dan Yu hanya geleng-geleng kepala melihat banyaknya kutipan di sepanjang Tiger Leaping Gorge. Aku menceritakan kepada Yu bahwa di kampungku yang terkenal dengan premannya saja orang yang ngutip tidak sebanyak ini. Yu juga merasa bingung ada bagian daerah Cina seperti Tiger Leaping Gorge karena dia tidak pernah “dipalak” di wilayah lain di China. Yup, aku juga baru pertama kali ini “dipalak” di Cina. Mungkin orang Naxi merasa bahwa mereka yang paling memiliki Tiger Leaping Gorge sehingga setiap orang yang lewat harus membayar uang keamanan…….
Copyright: Jhon Erickson Ginting
Sumber: Pengalaman Pribadi
Copyright Photo: Jhon Erickson Ginting
hehehe , seru bgt bro kisahnya, apalagi landscapenya itu lho, keren abis! menurutku landscape2 seperti ini , yg bisa buat jiwa damai dan teduh. btw, kan di indonesia juga udah sering dipalak mas, yg malak pake seragam lagi. kalo disana masih mending lah mas kalo menurutku, malak buat makan, lha kalo disini, malak buat seneng2, nyekolahin anak, macem2 pokoknya. udah biasa jadi korban “pemalakan” orang berseragam soale mas….hihihi. aneh ya!, kok belum ada yg comment di sini ya…jadi malu jadi yg pertama neh mas..
Hahahahaha…..kalau di Indonesia mah jangan tanya bro Abe…..Setiap pengkolan ada yang malak….besok2 kalau kentut aja bisa dipalak…..Nah itu dia uang hasil malak itu dipergunakan untuk macem2….. regards J.E Ginting https://ginting.wordpress.com/
Hallo Bang John, postingan yang bagus, tapi ada beberapa pertanyaan nih Bang,
1. aku ada baca beberapa blog dan seigt saya Bang John ada yang sampai bersepeda puluhan kilometer, itu sepeda nya sewa ya Bang?
2. petualang Bang John itu asik banget rasa nya menelusuri kota-kota kecil dan bebas banget, kalo bole tau itu ketika umur berapa dan apakah itu ketika sudah bekerja di drilling company? kalo memang sudah, kenapa bisa dapat begitu banyak hari libur ya? asik banget rasanya, soalnya selama ini saya traveling, memang bedanya negara barat dan timur itu, contohnya di negara kita, libur terpanjang biasanya hanya di libur hari raya idul fitri sementara saya banyak ngobrol dengan orang barat, mereka kebanyakan kerja keras 9 bulan dan menghabiskan waktu berkelana selama 3 bulan. Kalo saya sendiri, kebetulan kerjaan bisa di tinggal, jadi petualang nya karang 2 bulan sekali itu pun sebatas 5 sampai 9 hari, dan paling lama tar akhir Juli ini selama 3 minggu saja buat rute malay, myanmar, thailand, cambodia, dan vietnam, anyway keep writing yang Bang John 🙂 and thank you so much for this awesome blog, sukses dan bahagia selalu, Bang.
Miyoko,
1. Yup, nyewalah… 2. Aku mulai traveling sejak SMA dan keliling sebagian besar Indonesia waktu kuliah, jaman belum ada orang yang ngaku backpacker. Modal dengkul dan loncat kereta. Kemudian aku kerja lulus kuliah di ITB dan kerja di perusahaan minyak. Kemudian aku kerja di luar negeri sebagai konsultan di perusahaan minyak. Yup. Kerja 6 bulan, libur setahun. Kerja dua tahun, libur tiga bulan. Karena sifat kerjanya kontrak, suka2 aja mau kerja dan berhenti. Sebagai konsultan saat itu, kerja sebulan bisa untuk keliling dunia selama dua tahun..hehehehe. Jadi, aku tak pernah traveling pada hari libur seperti kebanyakan orang Indonesia. Nah, kamu ini tipikal traveler Indonesia MIyoko, punya 3 mau keliling Asia Tenggara……Cuma numpang lewat doang. “Roh” travelingnya gak ada sama sekali, cuma lihat2 doang…..:-). Disitulah letak perbedaan saya dengan traveler lain. Saya hidup seperti orang lokal dan selalu berusaha tidak terliaht sebagai turis…..
J.E Ginting https://ginting.wordpress.com/
________________________________
Hahahahaha maklum bang, masi pemula soalnya, semoga suatu hari bisa seperti bang John 🙂
okayyy 9 tahun telah berlalu, nanti kita bukti kan ya bang John 😄 tunggu tanggal main nya
Tes