Tolong Menolong Dalam Bertraveling Itu Perlu…


Selama melakukan perjalananan di banyak negara, kesulitan dan masalah sering kuhadapi karena memang negara-negara yang kukunjungi juga “antik-antik” dan bukanlah negara yang umum jadi tujuan wisata.  Sudah terbiasa aku ditolong oleh orang-orang lokal dan juga sesama traveler. Jika teman-teman membaca buku  “This Is Africa” yang merupakan kisah perjalananku di benua Afrika, ada beberapa contoh kisah dimana aku ditolong orang-orang lokal dan juga sesama traveler. Di Mesir, Tanzania, dan Malawi, berbagai pertolongan aku terima dari yang sekedar menunjukkan jalan sampai nasehat supaya terhindar dari bahaya. Memang, tak semuanya tulus terutama orang-orang lokal. Tapi, aku masih maklum karena itulah salah satu cara mereka bertahan hidup.

Selain ditolong oleh ‘teman-teman dadakan” di perjalanan. Aku juga berusaha menolong sesama teman traveler dari hanya sekedar mendengarkan “curhat” sampai membebaskan teman dari bahaya.  Reaksi teman-teman yang kutolong rata-rata sangat baik dan bahkan menawarkan untuk menginap di rumah mereka seperti pasangan Jepang tua yang kesasar, Henry dari jerman, dan Margareth dari Swiss. Tetapi, ada juga yang bereaksi negative seperti tiga orang kakak beradik dari Kanada yang sangat sinis ketika aku berusaha menawarkan pertolongan. Namanya juga manusia, terkadang kalau lagi “mens” emosi jadi nggak jelas…..:-p.

Sekitar beberapa bulan setelah kembali ke Indonesia, aku pergi melakukan perjalanan ke Ujung Kulon dengan seorang teman, Anggie dengan menggunakan kendaraan umum. Perjalanan dari Labuan ke Taman Jaya sebelum naik perahu ke Ujung Kulon sangat menyengsarakan pantat karena jalanan yang sangat buruk dan berbatu-batu. Pantat kami ratusan kali naik turun dan terhempas akibat guncangan. Sepertinya Partai Politik pemenang pemilu tidak menang di kawasan ini atau pemerintah daerahnya kurang perduli…..:-p.

Sun down in Ujung Kulon

Sun down in Ujung Kulon

Singkat cerita, tibalah kami di desa Taman Jaya setelah perjalanan penuh “goyang dangdut” selama 4 jam.  Kami menginap selama semalam di rumah Pak Komar yang terkenal menyediakan perahu dan juga guideuntuk perjalanan menyusuri hutan Ujung Kulon.  Pagi harinya, ada “serombongan traveler rame-rame” yang baru tiba. Aku dan Angie yang tadinya kesulitan mencari teman sharing perahu menuju Ujung Kulon akhirnya bisa lega karena biaya sewa perahu akan berkurang. Setelah berkelanan dengan teman-teman rombongan traveler, kami pun sepakat untuk sharing cost untuk sewa perahu selama perjalanan kami di Ujung Kulon.

Berangkatlah kami ke Ujung Kulon dengan menyewa perahu dari Pak Komar. Perjalanan menjadi menyenangkan dan keakraban terjalin di antara kami. Saling foto-memfoto dan juga sharing berbagai hal terjadi sampai kami kembali tiba di rumah Pak Komar di desa Taman Jaya keesokan sorenya. Aku dan Angi yang naik kendaraan umum terancam tak bisa kembali ke Jakarta karena kendaraan paling akhir menuju Labuan sudah lewat.  Kami berdua pun mendekati ketua rombongan traveler rame-rame untuk bisa menumpang karena aku melihat masih banyak bangku kosong di minibus yang mereka sewa.  Tak mungkin mereka menolak dimintain tolong, apalagi aku juga bayar ongkos ke mereka. Hitung-hitung bisa mengurangi biaya perjalanan mereka. Itulah keyakinan yang ada di dalam hati dan pikiranku saat itu.

Jujur saja, aku belum pernah traveling dan berinteraksi dengan sesama traveler Indonesia sebelumnya sepulangnya ke Indonesia sehingga aku tak paham begitu banyak dengan dunia pertravelan di Indonesia. Jaman kuliah, ketika aku masih sering naik gunung-gunung di Indonesia mendapatkan pertolongan sangatlah mudah sehingga banyak dari perjalananku kulakukan dengan cara hitchhiking baik menumpang truk maupun kendaraan pribadi. Gratis pulak.  Jadi, alangkah terkejutnya aku dan Angie ketika ketua “rombongan traveler ecek-ecek” ini menolak permintaan kami untuk menumpang di bus mereka yang setengahnya masih kosong dengan alasan anggota rombongan keberatan bila kami berbagi tempat dengan mereka. Seperti kebiasaanku, aku sedikit memelas dan merayu sang ketua rombongan, tetapi kayaknya dia tetap kekeuh tak mau menolong kami walaupun hanya sampai di Labuan saja. Alasannya, dia takut dimarahi oleh anggota rombongan traveler yang dia bawa.

Tak mau mendesak lebih jauh, aku dan Angie pun akhirnya diam saja. Kami kembali kepada Pak Komar dan meminta ide bagaimana cara kami harus kembali ke Jakarta. Pak Komar memberikan ide naik ojek. Dia lalu memanggil dua temannya yang punya motor untuk mengantar kami ke Labuan. Karena kasihan melihat kami, kedua orang ini hanya meminta ongkos Rp 75,000 per orang dari harga awal Rp 100,000. Naik motor selama 4 jam dari Taman Jaya ke Labuan adalah sebuah “pengalaman yang sangat horror” bagi pantatku. Dengan naik minibus saja, pantatku sudah terhempas berkali-kali, gimana kalau naik motor. Sengsaralah pokoknya. Akibat dari naik motor ini tulang ekorku sakit selama 6 bulan. Dan, selama ini pula duduk menjadi hal yang sangat menyengsarakan. Benar-benar apes…….:-p.

Sepanjang perjalanan dari Taman Jaya ke Labuan aku tak habis pikir tentang “traveler-traveler” yang egois tadi. Aku masih ingat ketika dalam perjalanan ke Abu Simbel, ada beberapa traveler nekat yang tak punya tumpangan kembali Aswan minta tumpangan naik bus kami. Tak satupun kami keberatan walaupun traveler-traveler ini tak membayar ongkos sepeserpun.  Sudah selayaknya kita memang menolong sesama traveler yang kesusahan selama orang yang kita tolong tidak malah menjerumuskan kita dalam sebuah masalah.

Mungkin jika “traveler-traveler egois” tadi adalah remaja-remaja alay nan ababil, aku akan sangat memakluminya. Tetapi, umur mereka tak berbeda jauh denganku bahkan ada yang lebih tua sehingga sempat membuatku bertanya apa yang membuat mereka seegois itu. Bagiku, perjalanan-perjalanan yang pernah kulakukan adalah pembelajaran terhadap emosi  dan karakter. Perjalanan sepatutnya adalah sebuah cara untuk bertemu “pribadi-pribadi yang menarik” yang tak kita temui dalam kehidupan sehari-hari. Tak semuanya orang yang kita temui akan menyenangkan, tetapi jauh lebih baik dari sekedar hanya melihat-lihat obyek wisata dan keindahan alam apalagi hanya  sekedar melakukan pencapaian pribadi mengunjungi ratusan negara. Karena, orang-orang yang kita temui akan mengasah karakter kita menjadi sebuah pribadi yang lebih baik. Cara berpikir kita akan berubah dan pengetahuan kita akan bertambah, jika kita membuka diri.  

Perjalanan akan semakin menjadi lebih mengisi jiwa ketika kita bisa melakukan sesuatu yang baik untuk sesama, baik orang lokal atau teman sesama traveler. Kita tak pernah tahu kapan kita sendiri dan membutuhkan pertolongan dari orang lain.  Aku rasa Tuhan akan adil dan tak mau berhutang. Ketika kita menolong orang lain, Tuhan akan membalasnya dengan caraNya seperti yang kualami di berbagai negara yang kukunjungi. Ketika kita hanya fokus kepada ego pribadi dan pencapaian-pencapaian kita, bersiap-siaplah untuk “sendiri”…..:-)

Copyright: Jhon Erickson Ginting

Sumber: Pengalaman Pribadi

Copyright Photo: Jhon Erickson Ginting