Marinir Amerika Juga Manusia……
Suatu saat, beberapa tahun lalu di Afrika aku melakukan arung jeram Grade 5 di Sungai Nil, tepatnya di Jinja, Uganda. Salah satu kelompok yang ikut arung jeram ini adalah 7 marinir Amerika yang bertubuh tinggi besar dengan otot “segede bagong”. Dalam film-film buatan Hollywood, marinir Amerika selalu digambarkan sebagai prajurit yang tinggi besar, tangguh dan tidak gampang menyerah. Semper Fi adalah semboyan marinir Amerika yang artinya lebih enak didengar dalam bahasa Inggris, Always Faithfull. Mereka juga dipercaya menjaga setiap kedutaan Amerika di luar negeri dan menjadi bagian dari pasukan pengamanan presiden Amerika. Pokoknya, marinir tiada matinya…..:-).
Di sela-sela istirahat makan siang di Pulau Wasiki yang terletak di tengah-tengah Sungai Nil, Aku sempat ngobrol dengan salah seorang marinir Amerika yang tak kuceritakan detail di tulisan sebelumnya. Orang yang ngobrol denganku ini cukup terkejut ketika tahu aku berasal dari Indonesia. Mungkin dia tak menyangka juga ada orang Indonesia yang bisa datang sejauh ini ke jantung Afrika. Pertanyaannya seperti sebuah interogasi. Dia bertanya soal pekerjaanku dan lokasi tempat aku bekerja. Ketika aku bilang aku pernah bekerja di Irak, dia sedikit terdiam. Dia malah tak mau menjawab sama sekali ketika aku bertanya soal pengalamannya di Irak dan ngeloyor begitu saja dariku. Aku hanya menduga marinir Amerika tersebut trauma berat atau memang menjaga kerahasiaan misinya di sana.
Dalam perjalanan pulang dengan bus sehabis kami berarung jeram, seorang marinir lain bernama Pat yang tepat duduk di belakangku berkenalan denganku. Prosesnya hampir sama dengan temannya yang pertama. Bertanya soal asal dan pekerjaan. Pat juga terkejut ketika aku pernah bekerja di Irak. Dia lalu bertanya apakah aku pernah berada di negara Afrika yang lain.
Setelah menjawab berbagai pertanyaan Pat, aku balik bertanya soal keberadaan mereka di Uganda. Kali ini aku tak mau di-bully lagi dengan macam-macam pertanyaan berbau interogasi. Aku tak mau kalah dengan marinir-marinir Amerika ini.
”So, what are you guys doing in Uganda?” tanyaku kepada Pat.
”We are here to train Ugandan Army,” jawab Pat. Pat lalu menjelaskan pengalamannya melatih tentara Uganda.
Setelah meras cukup akrab, aku kemudian bertanya kepada Pat tentang pengalaman tempurnya di Irak. Wajah Pat langsung berubah. Dia menunduk seperti menunjukkan sebuah kesedihan yang dalam. Dia hanya berkata, “I was there, man. But, I don’t want to talk about it anymore.”
Pat termenung sebentar seperti mengenang sesuatu yang memilukan sebelum kemudian pindah ke bangku bagian belakang. Dia sepertinya merasa terganggu dengan pertanyaanku sampai-sampai tak mau lagi melanjutkan pembicaraan. Aku juga tidak mau bertanya lagi. Repot juga kalau dia tersinggung dengan pertanyaanku. Aku bisa jadi “tape” digebukin sama dia. Tubuhnya sangat berotot seperti penampakan marinir-marinir Amerika dalam film.
Aku bisa memaklumi kenapa Pat tak bersemangat ketika bicara tentang Irak. Mungkin dia kehilangan banyak teman di sana. Sebuah hal yang tidak mudah dilupakan begitu saja dan pastinya meninggalkan trauma.
Selama dalam perjalanan pulang dengan bus ke Kampala, Pat dan para marinir Amerika tersebut melakukan pembicaraan sesama mereka. Seperti juga manusia lainnya, mereka juga bicara tentang kekhawatiran akan masa depan mereka. Aku hanya menguping pembicaraan mereka tanpa pernah memalingkan muka sehingga aku tidak mengenali siapa berbicara dengan siapa. Salah seorang berpangkat lebih rendah bertanya kepada seorang sersan soal rencananya setelah pensiun jadi marinir. Si sersan menjawab bahwa dia tidak punya rencana apa-apa. Marinir yang berpangkat lebih rendah ini mengajak sersannya ikut ke kampung halamannya untuk berbisnis. Si sersan memberikan jawaban yang tak pasti.
Tak puas dengan jawaban sersannya, marinir Amerika ini lalu bertanya ke teman-teman marinirnya yang lain dengan pertanyaan yang sama. Jawaban mereka bermacam-macam. Ada yang masih ingin menjadi marinir untuk beberapa tahun lagi, tetapi kebanyakan dari mereka tak tahu apa yang mereka akan lakukan setelah keluar dari dinas militer. Mereka seperti bingung mau diapakan dan diinvestasikan kemana uang pensiun mereka. Mereka juga bicara soal rencana-rencana mereka ke depan dan tentang keluarga. Kesimpulannya, sebagian besar dari marinir-marinir berotot ini belum punya gambaran tentang apa yang akan mereka lakukan setelah kontrak mereka dengan US Marines Corps selesai.
Mendengar “curhat” para marinir Amerika ini, aku jadi merasa bersimpati. Hari ini aku sama sekali tidak melihat ketangguhan marinir Amerika yang sering digambarkan oleh film-film Hollywood. Yang aku lihat hari ini adalah sekumpulan manusia yang bingung menghadapi masa depan mereka. Tak ada ketangguhan yang diperlihatkan ketika mereka sedang bereperang. Pada akhirnya marinir-marinir Amerika ini hanyalah orang biasa yang trauma akibat perang dan khawatir tentang masa depan. Mereka seperti orang bingung yang tidak tahu bagaimana harus mengerjakan sesuatu selain berperang. Aku rasa mereka tidak akan sebingung ini dalam jika disuruh bertempur di Irak dan Afghanistan. Tetapi, mereka harus bangun dari mimpi perang mereka dan bersiap menghadapi ketidakpastian masa depan yang terkadang lebih menakutkan dari perang di Irak dan Afghanistan sekalipun. Seperti perkataan orang bijak, berani mati itu biasa tetapi berani hidup itu baru luar biasa. Semper Fi…Once a marine always a marine.
Copyright: Jhon Erickson Ginting
Sumber: Pengalaman Pribadi
Copyright Photo: US Marines
Mereka hanya dilatih berperang ya Pak. Masa depan mah urusan lu sendiri, gitu kali ya…Terus ABRI kita yang mau pensiun ada yg bingung seperti ini juga gak ya?
Mbak Evi, Kata istri saya yang lama tinggal di Amerika, pemuda2 Amerika yang jadi tentara kebanyakan dari kawasan Midwest yang tradisional terutama dari kota-kota kecil. Mereka yang nasionalisnya tinggi. Mereka bukan seperti penduduk Amerika di New York atau kawasan pantai timur Amerika lainnya yang punya banyak akses ke berbagai hal. Mungkin, seperti pemuda desa lainnya, mereka juga bingung mau ngapain setelah perang karena cuma itu yang merak tahu. Bayangkan itu di Amerika. Nah kalo di Indonesia, banyak yang jadi tenaga keamanan biasanya mbak..:-). Tetapi, saya berharap semoga tentara2 ini mendapatkan hidup yang lebih layak………
regardsJ.E Ginting https://ginting.wordpress.com/
Baca jawaban komennya mbak Evi jadi dapet gambaran situasinya mereka. Kasihan juga ya Pak kalo dipikir..
Dani, Kalau soal kasihan ya memang kasihan. Kalau tak salah ada film dokumenternya tentang anak2 muda Amerika yang berasal dari “kampung” jadi tentara, berperang di Irak dan Afghanistan lalu kemudian pulang dengan segala trauma yang dialaminya. Jiwa mereka patriot, tetapi “dikorbankan” oleh para pemimpin mereka yang kapitalis.
regards J.E Ginting https://ginting.wordpress.com/
Trauma berat sepertinya, perang memang mengerikan, bahkan tubuh besar kekar yang tampak menakutkan, punya sisi kelam tersendiri. Trauma perang sepertinya lebih parah dari yang kita lihat di tayangan film
Dalam perang tak ada yang menag, semua adalah korban….kata orang bijak……:-) J.E Ginting https://ginting.wordpress.com/
padahal pemerintah as juga sudah lumayan berupaya “menyuplai” mereka dengan jaringan kesehatan dan penanganan pasca trauma, tetapi tetap tidak dapat menjangkau semua. bersyukur indonesia bukanlah negara yang ofensif secara militer sehingga tidak meninggalkan banyak trauma kepada para prajuritnya.
Kehilangan orang dekat itu trauma tersendiri..saya pernah merasakannya….pada akhirnya semua adalah manusia biasa…need no more war…. J.E Ginting https://ginting.wordpress.com/