Rwanda Genocide Dari Sudut Pandangku (Ketika Perbedaan Menjadi Sebuah Kesalahan)


Genocide berasal dari kata Latin Gens atau Gentis yang artinya ras dan Cidium yang artinya membunuh (Perancis: Cide). Kalau diartikan secara harfiah, genocide artinya adalah penghapusan ras. Kata ini dipopulerkan oleh seorang pengacara Amerika berdarah Yahudi penentang genosida yang lahir di Rusia. Genosida di Rwanda merupakan salah satu genocide terbesar abad 20 setelah peristiwa holocaust terhadap orang Yahudi Eropa oleh rezim Nazi dan pembantaian orang Armenia oleh kerajaan Ottoman Turki. Selain itu ada juga pembantaian orang Bosnia oleh Serbia serta “Year Zerro policy” Polpot yang membunuh sekitar 1.5 juta raknyatnya sendiri yang lebih dikenal dengan nama The Killing Field.
 
Genocide di Rwanda disebabkan oleh perbedaan suku yang awalnya hidup tentram sebelum pemerintah kolonial Belgia datang menjajah sebagaian Afrika Timur dan Tengah yang sekarang menjadi Rwanda , Burundi dan Kongo. Untuk memecah belah penduduk asli di daerah yang dijajah Belgia, pemerintahan kolonial menetapkan aturan dimana orang-orang yang punya sapi lebih dari 10 disebut sebagai Tutsi dan yang punya kurang dari 10 sapi disebut Hutu. Selain itu perbedaan juga dilakukan berdasarkan tinggi hidung dan tinggi badan. Orang-orang Tutsi lebih tinggi dari orang Hutu dan mempunyai hidung seperti orang Eropa. Dari sejak pemisahan ini, kebencian merebak dan pembunuhan demi pembunuhan terjadi diantara kedua pihak karena saling cemburu terutama di pihak orang-orang yang bersuku Hutu. Sejak awal, pemerintah kolonial Belgia menganak emaskan orang Tutsi dan memberikan kesempatan lebih banyak kepada mereka dibanding orang Hutu. Orang-orang dari suku Tutsi yang minoritas lebih banyak menempati posisi angkatan bersenjata dan pemerintahan dibanding orang-orang Hutu yang menjadi mayoritas. Hal itu membuat orang-orang suku Hutu marah karena merasa dianaktirikan. Ketika Belgia keluar dari Rwanda , pembunuhan demi pembunuhan terjadi. Orang Hutu membunuh orang Tutsi, demikian juga sebaliknya.
 
Tidak ada pembunuhan dan pembantaian yang memakan korban yang sangat banyak dalam waktu yang singkat di Afrika seperti di Rwanda walaupun di Afrika sering terjadi kudeta berdarah. Genocide Rwanda adalah suatu ”pesta besar” suku Hutu membantai kompatriotnya suku Tutsi dan suku Hutu yang dianggap berkhianat. Semua orang terlibat dalam pembantaian ini, mulai dari pegawai pemerintahan, tentara, rakyat biasa sampai pastor yang seharusnya melindungi jemaatnya. Tutsi adalah penyakit Rwanda dan mereka harus dilenyapkan. Kira-kira begitulah slogan yang dipakai suku Hutu pada saat itu untuk membantai suku Tutsi.
 
Ketika aku masuk Rwanda, genocide telah empat belas tahun berlalu  tetapi penduduk Rwanda tidak pernah benar-benar melupakan peristiwa tersebut. Koran-koran lokal masih memuat berita-berita tentang genocide. Aku rasa memang sangat sulit peristiwa yang sangat mengerikan seperti itu bisa dilupakan begitu saja. Mungkin karena genocide itu sendiri sangat memalukan bagi orang Rwanda , mereka memilih kata “war time” sebagai pengganti genocide. Karena alasan tersebut, aku tertarik untuk mencari tahu sendiri peristiwa tersebut dari orang-orang yang pernah mengalaminya secara langsung. Dan, petualangan pun dimulai.
 

Kigali Genocide Memorial – Ada 250,000 mayat di dalam kompleks ini

Kigali Memorial Centre adalah tempat peristirahatan terakhir bagi kurang lebih 250.000 korban genocide. Tempat ini juga menjadi genocide memorial yang paling lengkap di seluruh Rwanda . Tidak seperti genocide memorial yang lain yang berupa sekolah atau gereja, Kigali Memorial Centre khusus dibangun untuk menyuguhkan detail sejarah genocide di Rwanda dan tempat-tempat lain di dunia. Ada gambar-gambar dan juga video tentang sejarah Rwanda dari jaman kolonial sampai peristiwa genocide tahun 1994. Beberapa orang yang lolos dari kejadian maut itu memberi kesaksian mereka dan disuguhkan dalam bentuk video. Selain itu ada baju-baju yang terakhir di pakai korban yang terletak di salah satu ruang. Beberapa tengkorak kepala yang kebanyakan berlubang karena hantaman benda tumpul ditampilkan dalam bersamaan dengan pakaian-pakaian yang terakhir dipakai oleh korban. Di ruangan yang lain ada foto-foto balita yang menjadi korban genocide. Karena alasan moral dan kemanusian tulang belulang mereka tidak diperlihatkan. Hanya pakaian terakhir yang mereka diperlihatkan. Foto-foto dari balita ini dipampang lengkap dengan tulisan mengenai data diri mereka dan cita-cita mereka.
 
Selain genocide di Rwanda, ada satu ruang yang menyuguhkan genocide yang pernah terjadi di negara-negara lain seperti Kamboja , Bosnia , Palestina, Eropa (yahudi oleh Nazi Jerman), dan lain-lain. Tujuan dari memorial ini untuk memberi pesan moral kepada pengunjung supaya kejadian genocide tidak terjadi lagi di muka bumi.
 

Pakaian korban genocide di Ntarama Genocide Memorial

Dari puluhan lokasi genosida di Rwanda, aku hanya pergi ke tiga tempat yang terkenal  Ntarama Genocide Memorial, Kigali Memorial Centre dan Murambi Genocide Memorial. Lokasi genocide biasanya diberi tanda seperti gapura yang diberi spanduk berwarna ungu bertuliskan nama tempat memorial. Di Ntarama, aku bertemu dengan  Madam Seraphim penjaga memorial yang kehilangan seluruh anggota keluarganya akibat genocide mulai dari anak, suami, orang tua sampai dengan saudara laki-laki dan perempuannya. Tak ada yang tersisa. Dia bercerita tentang detail bagaiman keluarganya dibantai dan juga caranya lolos dari pembunuhan. Dia bisa lolos dari pembantaian setelah berhasil lari dari para milisi interhamwe dan bersembunyi selama berhari-hari bersama tumpukan mayat-mayat yang membusuk. Hebatnya dia tidak pernah mendendam dan mengampuni para pembunuh anggota keluarganya.

Lubang peluru dan bekas ledakan granat yang dibiarkan begitu saja di Ntarama Genocide Memorial

Ada sekitar 50.000 ribu mayat yang dimumikan di dalam gedung di Murambi Genocide Memorial ini. Tak satupun foto mayat yang kuambil karena memang aku tidak mau menunjukkan mayat-mayat itu dengan foto-fotoku. Biar mereka beristirahat dengan tenang.

Di Murambi aku bertemu dengan Maria, penjaga memorial yang menceritakan tentang detik-detik pembantaian oleh Milisi Interhamwe. Saat terjadi pembantaian di Murambi, tentara Perancis sedang berisitirahat sore di sekitar lapangan sekolah. Mereka seolah tidak perduli ada pembantaian manusia hanya beberapa meter dari jarak mereka beristirahat. Hal ini menyebabkan kebekuan hubungan Rwanda-Perancis setelah peristiwa genosida Rwanda berakhir. Berbeda dengan memorial genosida lainnya di Rwanda, di Murambi mayat tidak dikuburkan dan dibiarkan membusuk tetapi dimumikan. Dan, mumi-mumi itu masih berbau busuk sampai sekarang. Maria dengan santainya memegang mumi-mumi itu seperti tanpa beban. Aku sudah terbiasa melihat mayat dengan kondisi paling parah sekalipun tetapi melihat ribuan mumi manusia yang dikeringkan membuatkan sedikit mual. Aku harus “puasa” memakan daging selama dua hari gara melihat ribuan mumi tersebut…..:-p.

Setelah peristiwa genosida berakhir, situasi di Rwanda belum benar-benar aman terutama yang berbatasan dengan Burundi dan Kongo. Sebagian milisi Interhamwe melanjutkan perang di Kongo dan Burundi . Pada saat ini Burundi dan Kongo berada dalam kondisi konflik. Bahkan di Kongo, sudah 4.5 juta orang yang mati karena perang saudara yang bermulai dari peristiwa genosida Rwanda . Milisi interhamwe juga kadang-kadang masih menyerang desa-desa di perbatasan Rwanda. Sampai kapan perang akan berlangsung dan berapa banyak lagi korban yang harus jatuh? Mungkin sampai orang-orang dari kedua suku ini mengerti bahwa perbedaan bukanlah sebuah kesalahan.

Cerita Perjalananku Yang Lain Di Rwanda:

Tentang Arti Cinta Dan Mengampuni

Copyright: Jhon Erickson Ginting
Sumber: Pengalaman Pribadi
Copyright Photo: Jhon Erickson Ginting