Apa Kata Traveler Asing Tentang Indonesia Versi Travel X


Selama perjalananku ke berbagai negara, aku pernah berbagi perjalanan dengan puluhan traveler dari negara asing dan berteman dengan ratusan dari mereka. Sayangnya tak banyak dari mereka yang tahu dan kenal Indonesia. Hampir semuanya tahu Malaysia (dan tentunya Bali), tapi tidak Indonesia. Untunglah ada beberapa traveler yang kukenal punya jiwa petualangan yang lebih “hardcore” sehingga benar-benar tahu Indonesia dan bukan Bali. Bahkan sebagian besar orang-orang ini tidak mengunjungi Bali ketika berada di Indonesia. Aku tentu saja ingin tahu apa pendapat mereka tentang Indonesia. Kalau nanya mereka ketika di Indonesia mungkin jawabannya sebagian besar bakal penuh pujian. Aku pikir cukup obyektif apa yang mereka katakan tentang Indonesia jika mereka memberi pendapatnya ketika berada di negara lain.  Ada yang tak mengenakkan tentunya. Mungkin hal yang tidak mengenakkan tersebut bisa jadi pelajaran buat kita dan pemerintah kita yang akhir-akhir ini katanya sangat perduli dengan pariwisata Indonesia…..:-)

Logo Wonderful Indonesia

Logo Wonderful Indonesia

1. Park, Korea Selatan

Sebelum menjadi teman seperjalananku di Thailand dan Bangkok sekitar 9 tahun yang lalu, Park sudah terlebih dahulu menjelajahi Asia.  Park yang merupakan insinyur lulusan dari Aerospace Engineering University of Achen, Jerman ingin memuaskan rasa petulangannya sebelum masuk dunia kerja. Salah satu negara tujuannya adalah Indonesia. Dia menyeberang ke Indonesia melalui Singapore lewat pelabuhan Laut di Batam. Malang baginya, sesampainya di Imigrasi, Park menjadi bulan-bulanan “oknum” sehingga membuatnya mengurungkan niat untuk menjelajahi Indonesia lebih lama. Dia hanya menghabiskan beberapa hari di Batam sebelum kembali ke Singapore.

“I have a plan to travel around Indonesia, but the problem with the corrupt people really upset me.  I cancelled my plan and back to Singapore,” ucapnya masih dengan nada kesal.

Masalah yang dihadapi oleh Park dialami tak hanya oleh turis, tetapi juga TKW/TKI non formil yang kerap jadi korban pemerasan “oknum” dan kadang-kadang TKI formil sepertiku. Terus terang saja, aku beberapa kali dimintai “uang rokok” di bandara ketika hendak terbang ke negara tempatku bekerja. Media juga sudah berulang kali memberitakan masalah oknum-oknum petugas  yang doyan malak. Masalah seperti ini memang sudah menjadi “borok” yang harus disembuhkan terlebih dahulu jika pariwisata Indonesia ingin maju.

2. Aron dan Hans,

Aron adalah traveler Hongaria yang bekerja sebagai fotografer lepas untuk beberapa perusahaan iklan di Hongaria dan juga beberapa negara di Eropa.  Aku bertemu dengannya ketika kami sama-sama menginap di Let Me Inn, Kairo. Aku juga sempat belajar beberapa teknik fotografi darinya. Aron  menjelajahi Indonesia sekitar 7 tahun lalu yang meliputi Jawa dan Sulawesi. Kesannya tentang keindahan Indonesia sangat baik.

“Indonesia is a beautiful country,” ucapnya memuji ketika aku ngobrol dengan dia.

Aku hanya tersenyum mendengar pujiannya dan menganggapnya sebagai sebuah hal yang klise saja. Karena ingin mengetahui pandangannya yang lebih tentang Indonesia, aku pun bertanya mengenai hal yang tidak disukainya di Indonesia. Aron pun bilang jika satu hal yang paling mengganggunya selama di Indonesia adalah ulah penjual makanan yang sering menaikkan harga ketika dia makan. Mental “manusia dunia ketiga” yang ingin cepat kaya tanpa kerja keras memang masih menghinggapi sebagian orang kita. Selama perjalananku, aku juga sering mengalami hal-hal seperti ini. Bukan sesuatu yang terlalu kupersoalkan, tetapi tetap saja bikin malu.

Aron juga “sedikit komplain” soal kebiasaan orang Indonesia yang yang terlalu ramah. Dia merasa terganggu ketika banyak sekali orang yang  menyapanya terutama ketika mengunjungi desa-desa dan juga kota-kota kecil.

“Everybody call me “Mister!! Mister!!” ucap Aron.

Soal banyaknya orang menyapa ini, tak hanya Aron yang komplain. Ada juga Hans, traveler asal Jerman yang tinggal satu penginapan dengan kami. Dia mengakui merasa terganggu dengan banyaknya orang yang memanggilnya. Tapi, satu hal yang paling membuat Hans merasa kesal adalah “keramahan” oknum petugas di bandara.

“I know what they want,” ucap Hans singkat.

3.Samuel

Samuel adalah traveler Yahudi yang punya dua kewarganegaraan, Israel dan Afrika Selatan. Seperti Aron dan Hans, aku juga bertemu dengan Samuel di Kairo Mesir.  Dia sangat antusias ketika aku mennyebutkan asalku dari Indonesia karena dia ternyata pernah ke Indonesia sekitar 8 tahun yang lalu. Samuel tentu saja menggunakan paspor Afrika Selatan karena tak mungkin dia masuk menggunakan paspor Israelnya.

Seperti traveler-traveler Israel pada umumnya, Samuel adalah “adrenalin junkie”. Dia tak menyentuh Bali ketika mengunjungi Indonesia dan lebih memilih menjelajahi Sulawesi, Ambon, dan Papua. Menurut cerita Samuel, dia sangat menikmati semua pengalaman dan thriller selama berada di Indonesia. Tak ada hal yang benar-benar membuatnya komplain kecuali satu hal, visa on arrival yang tak bisa diperpanjang. Dia bukan tak berusaha, tetapi tak satupun permohonannya untuk memperpanjang paspor dikabulkan oleh pemerintah Indonesia. Dia terpaksa harus keluar dari Indonesia dan memutuskan untuk tidak melanjutkan perjalanannya.  Mungkin peraturan yang tidak memperbolehkan perpanjangan visa on arrival bisa diperlonggar oleh pemerintah sehingga traveler-traveler seperti Samuel bisa lebih lama tinggal menikmati Indonesia.

4. Dominic,

Dominic adalah traveler Italia yang hidup untuk petualangan. Di umurnya yang sudah hampir 50 tahun, Dominic masih menjelajahi bumi dan tinggal di dormitory ketika aku bertemu dengannya di Valentine Inn, Wadi Musa (Petra), Yordania. Dia langsung berbahasa Indonesia dengan denganku ketika mengetahui asalku dari Indonesia. Awalnya dia tak yakin aku berasal dari Indonesia karena tampangku yang lebih mirip orang Timur Tengah…..:-p. Bahasa Indonesianya yang sangat lancar tersebut didapatkannya ketika dia tinggal di Bali selama 5 tahun. Menurut pengakuannya dia tinggal di Bali dari tahun 1980 sampai tahun 1985.

Selain menjadi traveler, Dominic adalah seorang pebisnis sehingga dia bisa membiayai perjalanan keliling dunianya. Aku yang selalu punya rasa ingin tahu bertanya soal alasannya minggat dari Bali. Dengan santai Dominic bilang,” Bali has been changed.”

Perubahan yang dimaksud Dominic adalah kehidupan di Bali yang tadinya tradisional menjadi lebih kepada materialistik. Tak hanya itu, Dominic juga tak menyukai orang-orang dari bagian Indonesia yang lain menetap di  Bali dan “bikin rusuh”.

“It makes Bali too crowded,” ucap Dominic.

Kedua alasan Dominic terus terang aku kurang menyetujuinya karena tak semua Bali yang dipengaruhi oleh industri pariwisata. Karena dia pasti tahu banyak kawasan di Bali yang masih “perawan” dari industri pariwisata sampai sekarang jika dia ingin melihat kehidupan tradisional Bali.  Alasan kedua pasti paling tak disukai oleh orang Indonesia karena adalah hak setiap warga negara Indonesia untuk tinggal di wilayah Indonesia sesuai hukum yang berlaku tak terkecuali Bali. Tapi, mungkin orang-orang yang hanya bikin rusuh di Bali yang disuruh angkat kaki.

Kelima traveler yang kusebutkan di atas telah mengutarakan pendapatnya tentang Indonesia.  Anehnya, tak ada satupun yang ribut soal infrastruktur di Indonesia. Aku sih tak heran karena mereka traveler bukan turis biasa yang lebih senang ikut dalam grup tur (tapi ngaku backpacking…:-p) dan kemudian pergi begitu saja. Kelimanya adalah orang-orang yang tak begitu ambil pusing dengan hal-hal yang serba wah karena jika mereka bepikiran demikian, aku tak akan pernah bertemu dengan mereka karena kami semua nginap di hotel murah meriah….:-p.

Aku tak tahu apa pendapat orang-orang yang lebih senang menjadi turis dan memilih tinggal di hotel-hotel berbintang. Alasan mereka pasti berbeda. Mungkin komplainnya lebih banyak pada infrastruktur, fasilitas, dan hal-hal yang berbau leisure lainnya.  Tapi, jika aku ditanya apa yang perlu dirubah dari sisi pariwisata Indonesia, aku akan jawab “attitude”. Bayangin saja, betapa kesalnya setelah menempuh jauh perjalanan tiba-tiba dipalak ketika baru saja tiba di Indonesia seperti yang barusan terjadi dengan satu keluarga wisatawan asal Spanyol. Padahal, semua syarat-syarat seperti visa sudah terpenuhi. Ini sama saja menunjukkan Indonesia yang tidak ramah terhadap wisatawan. Tetapi, mungkin kawan-kawan lain punya pendapat yang berbeda. Willing to share? 

Copyright: Jhon Erickson Ginting

Sumber: Pengalaman Pribadi

Copyright Photo: