Sisi Lain Kinabalu: “Saudara-Saudara Dari Timur”


Baru-baru ini kawasan Kinabalu dilanda gempa. Banyak pendaki yang tewas  karena gempa ini. Sebuah hal yang tak bisa dielakkan karena peristiwa semacam ini di luar kekuatan manusia. Peristiwa ini jadi membawa ingatanku kembali  dengan pendakianku di Gunung ini hampir 10 tahun yang lalu. Pertama kali ke Taman Nasional Kinabalu ketika perjalananku menuju  rig di-delay karena ada masalah teknis. Daripada bengong di hotel, aku naik bus menuju Taman Nasional Kinabalu. Aku hanya berjalan-jalan di sekitar Taman Nasional karena tak cukup punya waktu untuk mendaki sampai ke puncak. Sialnya, aku kehilangan kacamata Michael Schumacher yang aku beli saat Formula -1 GP…

Beberapa bulan kemudian, aku kembali ke Taman Nasional Gunung Kinabalu. Kali ini aku memang sengaja ingin mendaki sampai ke puncak. Bersama teman-teman sesama pendaki di Wanadri Komisariat ITB, aku sudah mendaki banyak gunung. Tapi, aku sudah berhenti hampir 5 tahun. Terakhir, aku hanya mendaki gunung Nebo di Yordania sana yang tingginya hanya seperempat dari Kinabalu. Aku sempat meragukan fisikku karena sudah terlalu lama “hidup enak” bekerja di dunia perminyakan……:-p.

Pendakian di Gunung Kinabalu memang sudah sangat teratur, cuma tinggal bayar ini dan itu. Biaya-biaya ini termasuk penginapan, administrasi, dan guide. Setelah semua biaya kubayar, petugas mengantarku menuju penginapan dan mengatakan bahwa besok pagi aku akan mendapatkan nama guide yang menemaniku mendaki Gunung Kinabalu.

Menunggu sampai besok pagi di penginapan yang disediakan oleh taman nasional bukanlah caraku menghabiskan waktu sehingga aku pun memutuskan keluyuran di sekitar perkampungan di sekitar Taman Nasional Gunung Kinabalu. Aku naik saja salah satu angkot yang bersileweran di jalan raya di depan taman. Aku tak tahu tujuan angkot ini kemana. Pokoknya, di mana angkot ini berhenti, disitulah aku turun.

Di beberapa kota kecil yang dilewati oleh bus, aku melihat banyak wajah-wajah yang sangat mirip dengan wajah-wajah saudara-saudara sebangsa kita dari bagian Timur Indonesia. Aku bingung juga   kenapa banyak orang “berwajah Indonesia” di Kinabalu. Rasa penasaranku terpasa kupendam karena tak mungkin juga rasanya aku tiba-tiba turun dari bus dan bertanya kepada mereka. Sepertinya kurang sopan.  Aku meneruskan perjalananku dengan bus sampai tiba di sebuah kota kecil yang tak kuingat namanya. Aku hanya melihat-lihat di sini sekitar dua jam sambil makan siang sebelum balik lagi menuju Taman Nasional Kinabalu.

Landscape paling terkenal dari Gunung Kinabalu...

Landscape paling terkenal dari Gunung Kinabalu…

Beberapa kilometer dari Taman Nasional, aku turun dari bus. Rasa penasaranku memang susah hilang jika ingin tahu sesuatu. Aku ingin tahu dan memastikan jika “wajah-wajah Indonesia” tadi memang dari Indonesia. Aku ingin mengobrol dan berbincang dengan mereka jika bertemu karena ingin tahu seperti apa kehidupan mereka di sini. Dengan berjalan kaki, aku berharap bisa bertemu mereka. Rupanya usahaku tak sia-sia. Setelah hampir satu jam berjalan, aku menemukan sebuah rumah yang tak jauh dari pinggir jalan yang diisi oleh beberapa orang “berwajah Indonesia Timur”. Dengan cueknya, aku pun langsung menyapa mereka, “Dari Indonesiakah?”

“Iya bang,” jawab salah satu dari mereka.

Tanpa ragu aku mengulurkan tanganku untuk bersalaman dan kami pun berkenalan. Dari empat orang yang kutemui saat itu, aku hanya ingat satu nama Stevanus. Stevanus mengajakku masuk ke dalam rumah untuk ngobrol-ngobrol. Tentu saja ajakan ini tak kutolak karena rasa penasaranku sudah sampai ke ubun-ubun. Rumah yang mereka tempati cukup asri dan khas rumah di perkampungan. Di dalamnya cukup bersih. Kelihatan Stevanus dan saudara-saudaranya merawat rumah ini. Kata Stevanus, rumah ini milik majikannya. Mereka tak dimintai uang sewa, hanya disuruh ikut merawat rumahnya.

Aku pun langsung bertanya soal wajah-wajah dari Indonesia Timur yang banyak kulihat di sekitar kawasan Kinabalu. Stevanus langsung mengiyakan jika orang-orang yang kulihat tadi memang orang Indonesia asal Nusa Tenggara Timur seperti Stevanus dan teman-temannya. Kebetulan mereka semua bersaudara dan berasal dari sebuah desa di Flores.

“Kok bisa sampai di sini? Bagaimana ceritanya?” tanyaku penasaran kepada Stevanus.

Stevanus lalu bercerita tentang petualangannya mencapai Malaysia. Alasan mereka pergi dari kampung halaman mereka adalah untuk mendapatakan kehidupan yang lebih layak. Mereka merasa tak akan bisa hidup jika terus bertahan di kampung mereka yang dipenuhi dengan aroma kemiskinan. Stevanus pun bersama keluarganya nekat menuju Malaysia. Semua urusan  telah diatur oleh para calo yang banyak berkeliaran di kawasan-kawasan miskin Indonesia dengan membayar sejumlah uang. Aku tak ingat berapa yang dibayar oleh Stevanus, tapi cukup besar jika dilihat dari ukuran mereka. Aku berusaha mengingat-ingat bagaimana mereka keluar dari kampung mereka. Jika tak salah, mereka naik kapal tradisional yang telah disediakan oleh calo mereka.  Apakah mereka menyusup ke Malaysia dengan kapal ini atau lewat perbatasan darat, aku benar-benar lupa. Tetapi, yang jelas mereka masuk dengan cara illegal.

“Kerja di mana?” tanyaku lagi.

“Di perkebunan dekat sini” jawab Stevanus.

“Tidak takut ditangkap oleh polisi?”

“Tidak, Bang. Banyak orang kita di sini kerja di perkebunan-perkebunan. Semua udah ada yang atur,” jawab Stevanus lagi.

Sekitar setengah jam kemudian, masuk anak kecil berumur 10 tahunan yang merupakan saudara termuda dari Stevanus. Aku terus terang tak menyangka bahwa mereka membawa serta adik mereka yang masih kecil. Jika dilihat dari wajah Stevanus dan saudaranya, kelihat mereka sangat lugu dan polos. Aku tak sampai habis pikir kenapa mereka bisa  begitu nekat mengarungi lautan yang ganas dengan perahu tradisional dan bekerja di negara lain secara illegal di usia yang masih sangat muda. Pastilah kesulitan yang mereka hadapi di kampung halaman tak kalah beratnya. Mereka hanya ingin hidup yang lebih baik.

“Apakah adikku sekolah?”

“Tidak bang. Mana bisa orang Indonesia masuk sekolah Malaysia,” jawab Stevanus datar tanpa ekspresi.

Perbincanganku dengan Stevanus dan saudara-saudaranya cukup akrab. Aku disuguhi teh manis oleh mereka yang sebenarnya sudah aku tolak secara halus, tapi tak enak juga rasanya menolak pemberian orang lain walau hanya sekedar minuman. Di banyak budaya di dunia, tawaran minum the adalah sebuah tanda persahabatan.

Tak terasa waktu berlalu dengan cepat. Aku pamitan kepada Stevanus dan saudara-saudaranya.  Sebagai kenang-kenangan aku sempatkan berfoto dengan Stevanus dan saudara-saudaranya. Sayang, foto-foto ini hilang semua ketika komputerku crashed. 

Aku melanjutkan berjalan kaki menuju Taman Nasional Kinabalu sambil merenungi perbincanganku dengan Stevanus dan saudara-saudaranya tadi. Bukan rahasia lagi jika banyak orang Indonesia yang bekerja secara legal maupun illegal di Malaysia. Aku jadi berpikir apakah begitu sulitnya mendapatkan penghidupan  yang layak di Indonesia sehingga saudara-saudara kita yang kurang beruntung ini harus menyabung nyawa mengarungi lautan, keluar masuk hutan dan kawasan-kawasan yang jauh dari peradaban hanya untuk bisa bekerja di negara lain dengan cara illegal?

Orang-orang seperti Stevanus sangat lemah dari segi hukum. Kapan saja mereka bisa dijadikan korban karena tak ada hukum yang melindungi mereka. Bisa saja “dikerjai” oleh majikannya. Untunglah Stevanus dan saudara-saudaranya punya majikan yang cukup baik dan perhatian. Bagaimana dengan yang lain? Mungkin mereka tak bernasib baik seperti Stevanus. Sudah cukup sering berita TKI (terutama TKW) diperkosa, disiksa, ditembak polisi, dan kekejaman-kekejama lainnya. Orang seperti Stevanus sudah mengerti resikonya. Dia mengerti jika suatu saat dia bisa ditangkap dan dipulangkan ke Indonesia. Tapi, mungkin dia merasa tak punya pilihan.  Syukur-syukur tak disiksa dulu seperti kebanyakan nasib TKI illegal yang ditangkap di Malaysia. Yang  datang secara legal saja banyak yang dikerjai, bagaimana dengan yang illegal?

Semoga saja Pemerintah Indonesia memberi perhatian kepada saudara-saudara kita yang bekerja di negeri orang dengan cara illegal. Hanya itu yang aku bisa bilang. Mungkin mereka perlu diberi kesadaran dan setelahnya harus dikasih kesempatan baik itu bekerja atau berusaha supaya kehidupan mereka menjadi lebih baik…….

Copyright: Jhon Erickson Ginting

Sumber: Pengalaman Pribadi

Photo: http://www.pixshark.com