Perjalanan di Perbatasan Rwanda-Kongo, Sebuah Cerita Tentang Survival……
Goma adalah sebuah kota di Kongo yang terletak di tepi Danau Kivu. Kota ini menjadi saksi pergolakan di kawasan Afrika Tengah terutama di Rwanda dan Kongo. Ketika Front Patriotik Rwanda (RPF) yang berasal dari suku Tutsi berkuasa di Rwanda setelah memenangkan pertempuran dengan pemerintah Rwanda yang didominasi Hutu, ratusan ribu etnis Hutu Rwanda yang takut mendapat pembalasan dari etnis Tutsi yang baru saja berkuasa menjadikan Kota Goma sebagai tempat pengungsian. Bersama dengan dengan pengungsi Hutu ini ikut pula Milisi Interhamwe dan kaum Hutu garis keras yang melakukan genosida terhadap suku Tutsi di Rwanda. Mereka melanjutkan pertempuran dari Kongo karena tidak mau tunduk kepada pemerintah Rwanda pimpinan Presiden Kagame yang berasal dari suku Tutsi. Pertempuran rupanya makin berkecamuk dan merambat ke Kongo karena Rwanda melakukan serangan balasan melalui milisi-milisi Tutsi yang ada di Rwanda dan Kongo. Bukan hanya orang Hutu Rwanda jadi pengugsi di Goma, orang Kongo dari berbagai suku pun akhirnya terpaksa lari dari rumah mereka dan menjadikan Goma sebagai tempat pengungsian karena pertempuran yang semakin meluas. Alasan mereka mengungsi ke Goma karena kota ini dianggap sebagai “kota paling aman” di Kongo.
Perang sipil di Kongo sendiri bisa dibilang jauh lebih mengerikan daripada perang Irak dan Afghanistan. Perang di Kongo telah berlangsung selama lebih dari 20 tahun, tepatnya sejak peristiwa genosida di Rwanda terjadi dan telah menewaskan 5.5 juta orang lebih. Tak banyak manusia di dunia yang tahu soal perang di Kongo sehingga sering disebut “The Silent War”. Mungkin karena memang jauh dari publisitas atau media-media di dunia sudah terlalu bosan meliput perang yang berkepanjangan di negara ini. Orang-orang di dunia lebih suka dengan berita perang di Timur Tengah yang lebih heboh dan secara pemberitaan lebih banyak.
Pemerintah Kongo yang lemah tidak mampu meredam pasukan-pasukan pemberontak yang saling bertikai di Kongo. Pasukan PBB yang ada di Kongo juga tidak bisa berbuat banyak. Malah, ada isu yang mengatakan bahwa pasukan-pasukan PBB yang bertugas di negara ini terlibat dalam pertempuran antara faksi itu sendiri. Sebagian isu yang lain mengatakan jika pasukan PBB terlibat dalam perdagangan gelap senjata dengan para gerilyawan. Isu-isu seperti ini tentu saja menambah rasa ingin tahu dan niatku untuk mengunjungi Goma.
Sebagai “kota yang paling aman di Kongo”, Goma dijadikan basis oleh PBB dan berbgai LSM internasional lainnya untuk membuka kantor perwakilan. Walaupun Goma dianggap kota paling aman oleh lembaga-lembaga kemanusiaan internasional, bukan berarti pengungsi terutama kaum wanita bisa merasa aman. Salah satu alasanku ingin mengunjungi kota ini adalah cerita-cerita menyeramkan tentang perkosaan, pembunuhan, dan perampokan yang dialami pengungi terutama kaum wanita di kamp-kamp pengungsi di kota ini. Perkosaan yang dilakukan juga sudah diluar prikemanusiaan. Seorang kawan di Rwanda mengatakan bahwa si pemerkosa tak hanya memperkosa korbannya tapi juga menyiksa dengan memasukkan ujung senapan kedalam kemaluan perempuan korban perkosaan.
Kota Goma bukanlah tujuan traveling yang umum. Hampir tak ada traveler yang mau datang ke kota ini dan jikapun ada, mereka lebih memilih ikut group tour karena lebih mudah dan aman. Sebenarnya aku sudah memilih opsi ini tapi tak mudah mendapatkan teman traveler di Rwanda karena sebagian besar orang yang datang ke Rwanda adalah pekerja LSM internasional, bukan turis atau traveler. Rwanda bukanlah negara tujuan turis. Sebagian besar orang di dunia hanya tahu Rwanda adalah negara tempat terjadinya genosida di akhir abad 20 dan dikategorikan sebagai negara berbahaya. Berbagai kota di Rwanda aku sudah jelajahi dan tak satupun turis yang kutemui, hanya sukarelawan-sukarelawan dari berbagai LSM internasional. Aku tak punya pilihan lain kecuali masuk sendirian ke Goma.
Setelah mempelajari peta Rwanda aku menemukan ”cara termudah” untuk masuk ke kota ini, yaitu melalui kota Gisenyi di Rwanda yang berbatasan langsung dengan Goma dan kebetulan sama-sama terletak di tepi Danau Kivu. Seperti kota Goma, Gisenyi juga dikenal sebagai kota peristirahatan orang-orang kaya sebelum peristiwa genosida terjadi. Tak banyak yang kutahu soal kota ini kecuali sebuah cerita yang mengerikan terjadi disana ketika peristiwa genosida terjadi. Ribuan mayat pernah mengapung di Danau Kivu ketika pengungsi Tutsi yang ingin menyeberang ke Kongo lewat Gisenyi dibantai oleh milisi garis keras etnis Hutu. Danau ini pun menjadi danau darah yang penuh mayat.
Beberapa hari setelah mempelajari situasi di Rwanda dan kondisi di perbatasan, berangkatlah aku menuju Gisenyi dengan menumpang bus dari Kigali, ibukota Rwanda. Sebelum menuju Rwanda, aku memang sempat diperingatkan oleh teman-teman KBRI di Tanzania jika perang di perbatasan Rwanda-Kongo dan Rwanda-Burundi masih sering terjadi. Wajar saja aku memantau situasi terlebih dahulu.
Sebelum menuju Gisenyi, aku sempatkan bermalam dulu di Ruhungeri, sebuah kota peristirahatan yang terkenal dengan gorilla gunungnya. Kebetulan Ruhungeri berada dalam satu jalur menuju Gisenyi. Kota Ruhungeri adalah tempat Dian Fossey, seorang ilmuwan pencinta gorilla melakukan aktivitasnya. Sayang, dia harus membayar kecintaannya terhadap gorilla dengan nyawanya. Para pemburu gorilla membunuhnya di dalam gubuk peristirahatannya. Aku hanya berada satu malam di kota ini karena tak ada yang bisa kulakukan di kota Ruhungeri yang sunyi ini. Pagi-pagi setelah sarapan, aku langsung melanjutkan perjalanan ke Gisenyi dengan menumpang bus.
Bus yang mengantarku dari Ruhungeri ke Gisenyi meliuk-liuk di jalan-jalan yang berliku. Dari kejauhan aku sudah melihat Danau Kivu dan banyak tenda-tenda putih. Aku yakin tenda-tenda putih itu adalah tenda-tenda di kamp pengungsian. Mungkin Goma sudah terlalu penuh sesak dengan pengungsi sehingga beberapa kamp pengungsian dibangun di Gisenyi. Menjelang siang, bus tiba di Gisenyi. Dari terminal bus, aku lalu menyusuri jalan-jalan berdebu yang tak beraspal di kota ini.
Hal pertama yang kulakukan adalah mencari hotel murah untuk menginap sebelum mencari informasi tentang bagaimana caranya menyeberang ke Goma. Aku susuri jalan di sepanjang tepian Danau Kivu tempat hotel-hotel dan penginapan berada. Ujung jalan di tepian Danau Kivu ini berakhir di pos lintas batas yang membelah kota Gisenyi dan Goma. Satu persatu hotel disana kutanya, tapi sayang semua hotel dan penginapan memasang harga selangit. Hotel yang termurah saja memasang tarif $ 100 per malam. Karena capek berjalan dan juga sedikit putus asa dengan mahalnya tarif hotel di kota ini, aku lalu duduk di tepi pantai Danau Kivu sambil menikmati pemandangan. Tak banyak yang bisa kulihat, selain anak-anak yang bermain di tepi pantai dan sepasang bule yang sedang bermesraan. Sambil menikmati semilir angin, lamunan membawaku ke peristiwa genosida belasan tahun sebelumnya. Aku membayangkan ribuan mayat manusia yang pernah memenuhi danau ini termasuk tempat dimana aku duduk. Pastilah sebuah pemandangan yang mengerikan…….
Selagi asyik melamun sambil menikmati semilir angin, seseorang tiba-tiba menepuk pundakku. Aku tak mengenal satu orang pun di Gisenyi dan setahuku tak ada teman jalanku di Afrika yang datang kesini. Tanpa terkontrol oleh otakku, tangankupun langsung reflek menangkap tangan orang yang menepuk pundakku.
“I am good man, sir. I am good, man,” teriak orang menepuk pundakku dengan gugup.
“What do you want?” tanyaku dengan nada penuh selidik.
” I have no bad intention, sir. I just want to help you. My name is John,” jawabnya
“I am John, too. So, why do you want to help me?” tanyaku penasaran.
“You have been followed since you arrived in here, sir. I want to warn you,” jelas John.
“Who did follow me?”
“The gangster, sir. They are very bad,” jelas John lagi.
Penjelasan John membuatku setengah tak percaya. Biasanya aku sangat peka dan awas jika merasa sedang diikuti orang sedangkan kali ini aku sema sekali tak merasakannya. Menurut John, kelompok ini mengincar tas kamera yang kubawa. John lalu menunjuk segerombolan pemuda yang berdiri sekitar 20 meter dari kami. Dia juga berani menunjuk pemimpin gerombolan pemuda itu yang berbadan tegap dan memakai kaos singlet putih dengan celana jin bergaya “Hip-Hop”. Entah apa maksud John melakukan sesuatu yang mungkin berbahaya bagi dirinya.
“Why do you tell me. Aren’t you afraid that he can beat you up?” tanyaku lagi.
“No, sir. I am not afraid of him. They are Congolese but I am Rwandan,” jawabanya tegas.
John lalu menjelaskan padaku bahwa setiap hari perbatasan Goma-Gisenyi dilalui oleh ribuan orang termasuk para pengungsi. Tak semua dari mereka orang baik-baik karena kondisi perang di Kongo membuat banyak orang putus asa dan menjadi kriminal adalah pilihan yang terbaik bagi mereka. John menasehatiku untuk menghindari jalanan yang sepi dan pergi dari kawasan Danau Kivu sebelum hari gelap karena tempat ini bukan tempat yang aman bagi orang asing kesasar macam diriku.
” It is very dangerous for stranger like you to stay here after dark. You can get killed, sir,”
“No worries, I will go before dark.”
Mendengar penjelasan John, aku berpikir lagi apakah akan meneruskan perjalanan ke Goma atau tidak. Di kantongku hanya ada sisa uang sekitar $ 200 lebih sedikit. Kalau ingin ke Goma, aku tak bisa bermalam di Gisenyi karena harus membayar $ 100 untuk hotel. Selain itu aku harus membayar $ 50 untuk visa Kongo dan $ 50 untuk visa Rwanda. Visa Rwanda yang kupunya hanya berlaku untuk single visa. Habislah uang $ 200 terakhir yang kupunya. Rwanda saat itu belum punya ATM yang terkoneksi secara internasional apalagi di tempat seterpencil Gisenyi. Jika aku menyeberang ke Goma hari ini juga, kemungkinan uangku masih cukup walaupun aku harus membayar jasa calo untuk menyeberang. Tapi, resiko yang kuhadapi sangat besar. Kelompok gangster remaja yang sudah mengincarku pasti akan mengikutiku.
Dari pengalamanku melintasi belasan perbatasan darat di puluhan negara, selalu ada kawasan “no mans land” yang sepi sepanjang 200m sampai 1 Km yang sepi dan tak terjaga. Jika aku melewati kawasan ini sendirian menuju Goma menjelang malam hari, dipastikan aku akan dirampok. Sudah beberapa kali aku lolos dari upaya perampokan dan penyerangan selama berada di Afrika. Tapi, kali ini instingku mengatakan aku tidak akan lolos ini jika aku nekad. Aku pun jadi sangat ragu untuk melanjutkan perjalanan. Di tempat berbahaya seperti ini tidak boleh ada keraguan sedikitpun karena keraguan berarti bencana dan mungkin saja aku akan terbunuh. Setelah menimbang-nimbang, aku pun mengikuti instingku. Dengan gontai aku pun beranjak dari Danau Kivu setelah mengucapkan selamat tinggal kepada John. Walaupun sangat kesal tak bisa meneruskan perjalanan, tapi aku merasa sudah mengambil keputusan yang tepat.
Copyright: Jhon Erickson Ginting
Sumber: Pengalaman Pribadi
Photo: Jhon Erickson Ginting
butuh keberanian ekstra utk travelling di negara” konflik. salut..
angkat topi deh http://alampangandaran.com/
Terimakasih Mas…..semoga Pangandaran baik2 saja dan makin keren….:-)
regards J.E Ginting https://ginting.wordpress.com/
Kadang-kadang memang kita harus percaya pada insting dan tentunya kalkulasi rasional tidak cuma asal nekad…..
Glad you are still alive…. 🙂
Mbak Nina, Saya memang banyak mengandalkan insting pergi ke tempat2 berbahaya….Tentu saja semua pakai perhitungan karena saya nggak mau mati konyol juga walaupun kadang sekali dua saya lepas kendali…hehehe….Yup, Thanks God, I am still alive and tell the story…. regards J.E Ginting https://ginting.wordpress.com/
Kisah-kisah klayaban di Afrika & Timur tengahnya cadas bang!
ternyata para traveler Indonesia banyak juga orang-orang “gila” kaya abang ini :-p,, bukan cuma sekedar jalan-jalan,narsis-narsisan & berhahahehe aja,tapi juga menguak sejarah destinasinya.Mata menjadi terbuka dan bisa melihat lebih jauh ke inti, ketimbang hanya melihat cangkangnya saja.jadi makin penasaran sama bukunya.
lanjutkan bang Jhon..!
Dear Widi, Dulu, saya hanya bosan saja dengan segala hal sehingga perlu mencari “sedikit kegilaan” supaya hidup lebih berwarna…hehehe…Tapi, saya anjurkan kepada yang lain untuk tidak diikuti karena urusan traveling kayak gini bisa nyawa taruhannya…..Kalau memang demen narsis-narsisan ya silakan saja…atau kuliner dan hal2 klise traveling lainnya….Kalau itu yang membuat senang, tak ada salahnya juga……:-). regards J.E Ginting https://ginting.wordpress.com/
Pas di sini udah ga ditemenin sama Tim from Perth ye?
Setiap kali aku baca kalimat om yg kayak gini:
“Beberapa hari setelah mempelajari situasi di Rwanda dan kondisi di perbatasan, berangkatlah aku menuju Gisenyi”
Selalu kebayang, entah apa yg bisa aku lakukan jika aku berada di posisi om Jhon pada saat itu. Berangkat dengan tranport apa? Jalannya kemana? Gimana caranya?…di sebuah negara yg nggak bersahabat dengan turis semacem itu. Yakin, pasti berat banget mau ambil keputusan apa selanjutnya.
Anyway, ceritanya seru sampe terbawa ke emosi bingungnya itu.
“It’s not just about the destination, but the journey”
http://makanangin-travel.blogspot.com/
Yup…..kamu benar George…Tim tak lagi ikut….Bisa kencing berdiri dia kalau masuk ke daerah seperti ini…hehehehe…..Dilema yang kuhadapi setiap masuk ke daerah seperti ini sih bukan soal transport bro….Lebih banyak soal gimana caranya, siapa orang2 dunia bawah tanah yang bisa kuhubungi untuk mengurus “tetek bengek” dan juga orang-orang yang bisa memberi perlindungan…Waktu itu memang saling serang di perbatasan masih sering terjadi makanya aku lihat situasi dulu…Intinya, kalau masuk ke tempat seperti ini kita harus cari “siapa penguasa” di sana. Sayang, saat itu aku tak punya cukup waktu untuk mencari tahu karena sudah diincar duluan dan keuangan yang terbatas……Beginilah seni bertraveling di daerah sulit dan rawan…..:-)
regardsJ.E Ginting https://ginting.wordpress.com/
Aduh, salut deh si Mas ini mau datang ke Goma karena penasaran. Itu membaca dialog dengan si John, mengingatkan saya akan saat2 berada di Afrka. Orang Rwanda selalu bilang orang Congo tidak baik, begitu juga sebaliknya. Congo itu terdengar sangat mengerikan, jika didengar dari dunia luar melalui media mainstream. Padahal, ngga semua bagian Congo seperti itu. Aku pernah tinggal di Bukavu (kerja, bukan buat travel. hahaha), dan rumahku hanya 1-2 km aja ke perbatasan Rwanda. Selama di sana, aman2 saja. Yah, terkadang ada kasus serangan rebel. Tapi, biasanya ngga sampe ke kota. Sayang ya, ngga sempat menikmati keindahan danau Kivu dari sisi Congo.. padahal, tinggal selangkah lagi 😀
Hi Nurul, Terimakasih….perjalanan ini sudah lama sekali, sekitar hampir 13 tahun lalu ketika masih jarang orang Indonesia pergi traveling jauh….Bahkan ada yang saya tulis di blog adalah perjalanan saya 20-28 tahun yang lalu….Mungkin sebagian orang baru tahu tentang blog ini sehingga ada yang baru menemukannya sekarang…..Kebetulan, pengunjungnya ada saja sehingga kadang2 bertanya tapi saya sudah tak bisa menjawab karena situasi pasti sudah sangat berbeda….
regardsJ.E Ginting https://ginting.wordpress.com/
Keren… Keren…. Dua jempol deh pokoknya…