Seorang Polisi Palestina………


Terkadang, dalam sebuah renungan, kita mengingat orang-orang yang pernah kita temui dalam sebuah perjalanan. Aku juga begitu. Ratusan orang yang pernah ngobrol, berteman dan menjadi teman seiring dalam berbagai perjalananku. Ada yang menyebalkan dan tentunya tak sedikit yang menyenangkan. Berbagai kisah pernah kudengar dari orang-orang yang kutemui ini. Sebagian kisah tersebut menjadi sebuah pelajaran bagiku untuk  menjalani hidup walaupun tak sedikit hanya lewat begitu saja.

Suatu saat, aku membongkar foto-foto lama perjalananku dari dua puluh tahun dan belasan tahun yang silam. Mataku tertuju kepada sebuah foto bertampang Timur Tengah dengan seragam hitam-hitam dan baret hitam. Aku ingat foto ini adalah foto seorang polisi Palestina yang sedang berkeliaran menjaga kota Betlehem dekat perbatasan Israel di suatu sore sekitar beberapa jam sebelum pergantian abad, dari abad ke 20 menuju abad 21. Kala itu Israel belum memasang tembok pemisah sehingga para turis dan juga warga setempat bisa dengan mudah menyeberang.

Terus terang,  perjalananku di Palestina bukanlah perjalanan hardcore yang biasanya kulakukan.  Aku ikut piligrim dengan rombongan turis. Ini kali pertama dan terakhir aku ikut rombongan turis…..:-). Walaupun demikian, perjalanan seperti ini tak pernah menghentikanku untuk memenuhi rasa ingin tahuku yang dalam tentang sebuah kejadian apalagi soal perang Israel-Palestina yang tiada henti.  Ketika anggota rombongan lain sibuk mencari suvenir, aku lebih suka menyusuri bagian kota kuno Betlehem, Tepi Barat (West Bank) dan bertemulah aku dengan seorang polisi Palestina yang berjalan sendirian. Dia memakai pakaian seragam lapangan berwarna hitam lengkap dengan baretnya yang berwarna hitam pula. Aku menyapanya dan dia menyambut sapaanku dengan senyum dengan bahasa Arab. Dia pikir aku orang Palestina (Arab). Tampangku yang memang lebih mirip orang Timur Tengah sering jadi “masalah”. Cerita selanjutnya adalah saling kenalan soal asal negara. Setelah mengetahui aku berasal dari Indonesia, keakraban pun terjalin. Indonesia sepertinya mendapat tempat yang bagus di hati orang Palestina…..:-).

Seperti kebanyakan orang kalau kenalan di Timur Tengah untuk pertama kali, polisi ini hanya memperkenalkan namanya sebagai Ahmed. Dia sudah menikah dan dikaruniai seorang putri pada saat itu. Saat Ahmed tahu aku belum menikah, dia merasa heran karena umurku yang ternyata lebih tua darinya.

Aku terus terang tertarik dengan situasi pekerjaannya di sebuah kawasan yang rawan konflik. Ahmed tak bercerita banyak karena keterbatasan bahasa Inggrisnya. Aku ingat dia bilang bahwa sebagai polisi dia bertugas menjaga keamanan wilayah yang menjadi tanggung jawabnya.  Aku juga bertanya apa yang dilakukannya jika terjadi konflik dengan Israel. Ternyata dia  harus melepas baju seragamnya supaya tidak menjadi sasaran tembak tentara Israel. Soal apakah ikut bertempur atau tidak, dia hanya ikut apa perintah komandannya. Kelihatannya Ahmed ingin semuanya baik-baik saja dan dalam keadaan damai walaupun dia berharap Jerusalem bisa menjadi wilayah Palestina. Dia juga mengajakku datang ke pesta pergantian abad Y2K di halaman gereja Holy Sepulchure, Betlehem yang akan dihadiri orang-orang dari berbagai negara di dunia.

Aku juga sedikit penasaran dengan senjata yang digunakan Ahmed untuk menjaga keamanan. Awalnya Ahmed tak mau menuruti permintaanku untuk menunjukkan senjatanya, tetapi setelah kurayu dia mengeluarkan sepucuk pistol M1911 yang biasa menjadi standar pasukan infantri Amerika.  Aku sempat bermain-main sebentar dengan senjata ini. Tentunya, pin pistol berada dalam posisi terkunci. Dia hanya tersenyum melihatku bermain-main dengan pistolnya. Untuk komandannya nggak ada di situ…..:-)

Polisi Palestina (Sumber: http://samsonblinded.org/)

Polisi Palestina (Sumber: http://samsonblinded.org/)

Setelah hampir setengah jam ngobrol dengan Ahmed, anggota rombongan yang lain selesai melakukan kunjungan wisata mereka di toko-toko suvenir.  Obrolanku dengan Ahmed pun berhenti. Aku meminta teman satu rombongan untuk memotret kami bareng.  Ahmed kemudian pun berlalu sambil melambaikan tangan.

Bertemu seorang seperti Ahmed selalu membuatku berpikir walaupun aku hanya bertemu sebentar dengannya. Aku tak pernah benar-benar melupakannya karena aku berharap dia tetap hidup. Sebagai seorang polisi, dia tak hanya menghadapi bahaya dari para kriminal, tetapi dari tentara Israel juga jika terjadi konflik. Orang-orang berseragam dan bersenjata adalah sasaran pertama tentara Israel. Kawasan Tepi Barat memang dikuasai oleh Fatah yang lebih moderat cara perlawanannya terhadap Israel dibanding Hamas di Gaza. Mereka lebih banyak menggunakan diplomasi di meja perundingan. Jadi mungkin konflik di Tepi Barat tidak se-intense di Gaza Strip. Walaupun begitu, konfik tetap terjadi. Peristiwa intifada kedua yang terjadi setelah sekitar 1 tahun aku bertemu Ahmed memakan korban ribuan jiwa baik dari pihak Palestina dan Israel.  Ketika peristiwa ini terjadi,  aku kembali mengingat Ahmed.  Apakah dia masih hidup? Bagaimana istri dan putrinya? Pertanyaan-pertanyaan seperti ini akan selalu berkecamuk di kepalaku.  Tak hanya di Palestina, di negara-negara konflik yang lain juga. Sebuah “kutukan” yang tak akan pernah hilang setiap kali aku bertemu dengan orang-orang yang berada di wilayah konflik.

Copyrght: Jhon Erickson Ginting

Sumber: Pengalaman Pribadi

Copyright Photo: http://samsonblinded.org/