Pengalamanku Dengan Orang Hmong
Lao Cai adalah kota di Vietnam yang berbatasan langsung dengan Heikou di China. Kebetulan kota ini dekat dengan Sapa, sebuah kota yang mayoritas penduduknya berasal dari suku Hmong. Suku ini adalah salah satu suku minoritas di Vietnam walaupun mereka tersebar di Thailand, Laos dan Kamboja. Aku sempatkan pergi Sapa karena memang dari dulu aku ingin ke kota ini untuk melihat kehidupan orang Hmong secara langsung. Ketertarikanku dengan orang Hmong adalah karena sampai saat ini suku ini masih mempertahankan cara hidup mereka yang sangat tradisional.
Ada beberapa sub etnik atau suku Hmong yang kutahu yaitu Black Hmong, Red Hmong dan Flower Hmong. Setiap sub etnik suku Hmong ini mempunyai ciri khas masing-masing dalam berpakaian. Flower Hmong pakaiannya warna warni. Black Hmong berpakaian hitam hitam. Sedangkan Red Hmong berpakian hitam dengan kombinasi warna merah serta ikat kepala merah. Selain soal pakaian, aku kurang tahu apa lagi yang membedakan ketiganya. Setelah melakukan perjalanan menyusuri desa-desa mereka, aku berharap pengetahuan tentang budaya dan kehidupan orang Hmong bisa sedikit bertambah.
Perjalananku menyusuri perkampungan orang Hmong dimulai dari Lao Cai, kota yang berbatasan langsung dengan Heikou di Cina. Dari terminal Lao Cai yang terletak persis di depan stasiun kereta, aku menumpang minibus ke Sapa yang menjadi “ibukota” orang Hmong. Minibus ini adalah satu-satunya transportasi ke Sapa. Agak aneh memang, sebuah kota yang terkenal dengan turismenya hanya punya satu moda transportasi…..:-p.
Satu jam berikutnya aku telah tiba di Sapa. Kesan pertamaku tentang kota ini biasa saja, sebuah kota kecil yang mirip dengan kota kecamatan di Indonesia. Hal yang sedikit membingungkanku adalah adanya sebuah Katedral besar yang persis terletak di kawasan pasar Sapa. Orang Hmong adalah penganut animis tetapi kok bisa ada Katedral disini? Sayang, aku tidak punya referensi soal sejarah katedral tersebut sehingga aku tak bisa menjelaskan apa-apa soal keberadaannya. Katedral ini memang tidak digunakan lagi oleh umat Katolik untuk beribadah, tetapi masih digunakan oleh orang Hmong untuk tempat Bazaar setiap Rabu malam. Bisa dikatakan, dari Katedral inilah perjalananku menyusuri Sapa dan perkampungan orang Hmong bermula.
Untuk melihat kampung orang Hmong, setiap pengunjung dikenakan biaya masuk. Aku lupa harganya, mungkin sekitar 1.5 dollar. Kampung-kampung disekitar Sapa terlalu luas untuk dimasuki sehingga aku memilih naik ojeg dengan harga sewa 1.5 per jam. Tukang ojegku masih sangat muda tetapi punya pengetahuan cukup soal kampung-kampung orang Hmong sehingga cukup banyak kampung orang Hmong yang bisa aku kunjungi. Aku bisa melihat perbedaan reaksi orang Hmong ketika mereka melihatku memasuki kampung mereka.
Untuk orang Hmong yang tinggal di perkampungan yang tidak jauh dari Sapa, melihat turis mondar-mandir di kampung mereka bukanlah sebuah masalah. Bahkan salah satu gadis Hmong yang kutemui disini mengajak turis masuk ke dalam rumahnya. Gadis cantik Hmong ini juga sangat fasih berbahasa Inggris. Dia begitu fasih menjelaskan tentang kain tenun dan pernak-pernak perhiasan buatan orang Hmong. Orang Hmong di perkampungan yang tak jauh dari Sapa memang sangat dekat dengan turis dan rata-rata jago berbahasa Inggris. Kebanyakan dari mereka berjualan pernak-pernik Hmong di Sapa dan juga di perkampungan mereka. Di salah satu warung tradisional Hmong di dalam perkampungan, aku membeli pakaian Hmong yang kalau dirupiahkan cuma seharga Rp 50,000. Harga ini bisa dua atau tiga kali lipatnya kalau aku membeli di pasar Hmong yang banyak dikuasai oleh orang Vietnam.
Si tukang Ojeg juga membawaku ke kampung-kampung Hmong yang jarang dikunjungi turis. Di salah satu perkampungan orang Hmong yang tak tersentuh turis, aku menjadi satu-satunya orang asing yang masuk ke perkampungan mereka. Tukang ojegku rupanya cukup mengerti seleraku bertraveling. Suasana dan reaksi orang-orang Hmong di kampung ini berbeda sekali. Kampung ini sepi dan sama sekali tidak ada kegiatan bisnis seperti kampung-kampung orang Hmong yang dekat dengan Sapa. Selain itu, setiap orang Hmong yang berpapasan denganku selalu menatapku dengan penuh curiga dan tidak bersahabat. Disini, orang aku terpaksa memotret mereka diam-diam. Aku tak mau mereka marah karena dipotret olehku. Beberapa gadis-gadis remaja dan anak-anak di kampung Hmong yang sepi turis ini berhasil kupotret. Mereka tidak komplain dipotret olehku seperti orang-orang dewasa mereka.
Puas menjelajahi kampung-kampung orang Hmong, aku kembali ke Sapa dan berjalan menjelajahi kota untuk melihat-lihat objek yang menarik. Aku sempat dimarahi sama wanita Inggris di Sapa. Gara-garanya aku memfoto beberapa wanita tua Hmong yang malu-malu untuk difoto. Aku sempat bingung kenapa dia marah. Lah, wong bukan urusan dia aku mau motret apa tidak. Si Hmong juga nggak komplain dan marah-marah. Aku diam saja dan mencueki si wanita Inggris itu yang membuat dia makin sewot….:-p.
Menjelang tengah hari, aku makan siang di sebuah warung yang menjual noodle soup. Seorang wanita Hmong penjual manik-manik mendekatiku dan menawarkan dagangannya. Aku menolak secara halus dan melanjutkan makan siangku. Selesai makan siang aku membeli 2 bungkus kecil kacang goreng di warung yang sama. Si wanita Hmong masih menungguku dengan setia di luar warung. Akhirnya aku tidak tega juga melihat dia menungguku. Aku membeli dua tas kecil terbuat dari tenunan Hmong darinya. Tak lupa aku memberinya satu bungkus kacang yang yang baru saja kubeli. Wanita Hmong ini menerima pemberianku dengan senang hati, tetapi dia tidak mau merasa berhutang budi terhadapku. Sebagai rasa terimakasih, dia memberiku dua gelang manik-manik dan mengikat salah satunya di tangan kananku.
“Thanks,” ucapku. What is this for?”
“This is for someone who loves you,” jawab si wanita Hmong.
“I don’t have a girlfriend,” ucapku berpolemik.
“You will have one soon,” ucapnya dengan nada yakin.
Aku tak tahu dari mana dia tahu aku bakal punya pacar, tetapi aku memang punya pacar beberapa bulan kemudian setelah menyelesaikan perjalananku dari Hanoi ke Nepal. Sayangnya, hubungan kami tak bertahan lama dan akhirnya berpisah. Aku memang tidak pernah memberikan gelang yang satunya kepada mantan pacarku karena gelang itu hilang dalam perjalanaku di Tibet. Apakah perpisahann kami ada hubungannya dengan kehilangan salah satu gelang pemberian wanita Hmong itu, aku juga tidak tahu. Hm…..mungkin sebuah kebetulan saja walaupun ada sedikit kecurigaan bahawa si wanita Hmong sengaja meramalku. Yang jelas, aku tak mau percaya ramalan. Aku anggap wanita Hmong itu hanya memberiku sebuah nasehat yang baik sebagai ucapan terimakasih………
Copyright: Jhon Erickson Ginting
Sumber: Pengalaman Pribadi
Copyright Photo: Jhon Erickson Ginting
keren bLognya…. kapan ya ak bisa jaLan2 kesana…hehehehhe
Terimakasih….Perjalanan dimulai oleh sebuah langkah kecil…hehehe
Aminnnnn………
Mantap journey nya boss,,,,
Cerita yg menarik bro. .kalau boleh numpang share
Silakan saja Mas bro asal dikasih tahu saja sumbernya…..:-)
regards J.E Ginting https://ginting.wordpress.com/