“Nairobbery” (Nairobi Kota Rampok)
Aku telah lama mendengar reputasi kota Nairobi sebagai “kota rampok” jauh sebelum aku berkunjung ke kota ini. Kota ini sampai dijuluki “Nairobbery” karena reputasinya tersebut. Berdasarkan data yang dikeluarkan oleh PBB pada tahun 2001, kota ini menjadi kota paling tidak aman di dunia. Dalam data tersebut disebutkan bahwa dua per tiga penduduk Nairobi pernah mengalami perampokan. Tentu saja aku sedikit “keder” dengan reputasi kota ini. Apalagi saat aku berada disana disekitar awal tahun 2008, Kenya masih berada dalam keadaan darurat akbiat bentrokan dua kubu (suku) dari calon presiden yang hampir saja membawa negara ini kepada perang sipil yang baru. Akibat konflik horizontal yang cukup parah, turis memang pergi dari Kenya. Kota-kota di Kenya ditinggalkan oleh turis. Aku merasa seperti berada di kota mati ketika tiba di kota Mombasa karena sepinya jalan-jalan kota itu yang biasanya selalu dipenuhi oleh para turis dari berbagai negara.

Kota Nairobi (Sumber: http://www.goafrica.com). Aku sampai tak berani bawa kameraku yang segede gaban karena pengalaman seorang teman yang kameranya dirampas di siang bolong di Nairobi
Di Kota Mombasa, aku berkenalan dengan seorang pegawai hotel bernama Abdul. Dari perawakannya, dia seperti anak remaja belasan tahun lainnya yang kelihatan polos. Aku tentu saja cukup terkejut ketika dia mengaku sebagai bekas kriminal di Nairobi dan pernah dipenjara bersama penjahat-penjahat kambuhan. Dia banyak bercerita tentang pengalamannya di penjara. Dari dia jugalah aku banyak mendapat nasehat tentang cara bertahan hidup di Nairobi terutama cara menghindari penipu yang selalu berusaha untuk menjebak para turis. Bukannya meremehkan nasihat Abdul, tapi aku sudah sangat terbiasa “berbisnis” dengan para penipu di berbagai negara di dunia sehingga aku merasa akan baik-baik saja di Nairobi. Aku lebih tertarik kepada hal-hal lain seperti menjelajahi kota Nairobi di malam hari seperti yang kulakukan di kota-kota di Afrika seperti Dar Es Salaam, Lilongwe, dan lain-lain. Ketika mendengar niatku tersebut, Abdul hanya berkata simpel, “If you want to stay alive, don’t go out at night.”
Aku tetap ragu dengan apa yang dikatakan Abdul walaupun dia bekas kriminal. Orang-orang di Malawi juga berkata hal yang sama ketika aku dan Tim, teman seperjalananku di Afrika berniat menikmati kehidupan malam di ibukota negara itu, Lilongwe. Kebanyakan “cerita tahyul” yang meyeramkan di Lilongwe dibuat oleh pemilik hotel dan supir taksi yang mungkin saja ingin mengeruk keuntugan dari turis. Buktinya, hampir setiap malam kami keluyuran di Lilongwe pada malam hari dan tak sekalipun ada orang yang mencoba merampok kami (atau kami memang sedang beruntung….:-p). Demikian juga ketika aku berada di Dar Es Salaam bersama Tim. Kami juga menyelusuri lorong-lorong gelap di kota itu hampir setiap malam dan bahkan nyasar di sebuah kawasan yang jauh dari mana-mana dan terkenal sangat rawan. Toh, kami juga tidak dirampok. Tentu saja aku merasa cerita Abdul seperti “Urban Legend” yang belum tentu benar.
Melihat reaksiku yang skeptis, Abdul lalu bertanya,” What is the thief weapon in Lilongwe?”
“Knife,” jawabku singkat.
“Ah. Thieves in Nairobi use machine guns, shotguns, and granade,” jawab Abdul kalem.
Aku terdiam mendengar jawaban Abdul. Mungkin aku tak akan percaya jika Abdul bukan bekas rampok. Salah satu alasanku berani keluar malam hari di Lilongwe dan Dar Es Salaam karena penjahatnya “cuma” bersenjatakan pisau yang menurutku tak akan sulit untuk dihadapi. Selain itu aku juga selalu membawa dua bongkah batu tajam untuk berjaga-jaga. Nah, kalau penjahatnya bawa senapan mesin atau granat, tak mungkin aku berani melawan. Bisa mati konyol….:-p.
Perkataan Abdul tentang Nairobi yang menyeramkan masih menyisakan ruang pertanyaan di dalam kepalaku, tetapi pertanyaan-pertanyaan itu lenyap begitu aku tiba di Nairobi dari Mombasa dengan naik bus malam. Kebetulan bus kami tiba sekitar pukul 5:00 pagi. Keangkeran kota ini langsung terasa olehku. Semua penumpang yang turun dari bus langsung masuk ke dalam ruang tunggu kantor perusahaan bus dan tak ada satupun yang berani keluar. Aku juga tidak merasa perlu untuk nekad keluar subuh-subuh seperti ini di Nairobi dengan ransel gede di punggung. Pemandangan di depanku sudah menunjukkan bahwa Nairobi sebagai kota rampok memang benar adanya, apalagi terminal bus kami persis berada di kawasan Westland yang terkenal dengan perampokan bersenjatanya.
Selama berada dua hari di Nairobi, aku bergaul akrab dengan seorang supir taksi bernama Alex. Sama seperti Abdul, Alex juga dengan senang hati bercerita soal Nairobi ketika aku bertanya. Yang agak aneh, Alex tidak pernah tahu kalau Nairobi dijuluki sebagai “Nairobbery”. Dia baru pertama kali mendengar kata itu dariku, tetapi dia memang mengakui bahwa Nairobi memang sangat terkenal dengan perampokannya.
Alex juga memberitahuku cara bertahan hidup di Nairobi. Walaupun siang hari, kans untuk dirampok tetap saja ada menurutnya. Dia menganjurkan kalau jalan seorang diri harus di keramian karena salah masuk jalan yang sepi, hampir pasti akan dirampok. Dia juga mengatakan bahwa sulit membedakan antara penipu dan perampok dengan orang biasa karena mereka berpakaian seperti orang normal dan bahkan cenderung rapi. Tapi, sebaliknya para kriminal ini bisa dengan mudah membedakan turis dengan penduduk Nairobi. Salah satu modus operandi yang dilakukan oleh para kriminal di Nairobi dalam menjerat mangsanya adalah dengan berpura-pura menjadi teman. Setelah itu mereka akan mengajak calon korbannya ke suatu tempat dan disitulah korbannya dirampok.
Walaupun Alex sudah bercerita panjang lebar soal keangkerang Nairobi, rasa penasaran masih juga membuatku bertanya kepada Alex soal kemungkinan keluar malam. Sama seperti Abdul, Alex juga mengatakan kalau aku bunuh diri kalau sampai berani keluar malam sendirian. Dia lalu menceritakan pengalmananya dirampok ketika pulang kemalaman sehabis kerja. Perampok Nairobi mencegat dia sebuah tempat yang sepi. Seorang perampok menodongkan pistol di kepalanya dan anggota kompolotannya yang lain mengambil uang serta benda berharga milik Alex. Masih beruntung dia tidak dibunuh oleh para perampok itu. Para perampok di kota ini memang tidak perduli orang lokal atau bukan. Mereka akan merampok jika melihat ada kesempatan.
Alex juga mengiyakan soal persenjataan berat yang dibawa oleh para perampok. Tapi, kebanyakan komplotan yang bersenjata berat punya sasaran yang cukup berat juga seperti bank, money changer, dan tempat-tempat yang banyak uangnya. Menurut Alex lagi, komplotan rampok kelas kakap di Nairobi sudah seperti gerilyawan bersenjata. Pantas saja bank-bank dan lembaga keuangan lainnya di Nairobi djaga dengan sangat ketat oleh petugas keamanan bersenjata berat lengkap dengan barikade.
Cerita Alex terus terang membuatku percaya tentang “Nairobbery” karena aku telah mendengar cerita dari dua pihak, dari pihak perampok dan pihak korban. Rasanya aku tak perlu lagi membuktikan keangkeran Nairobi dengan nekad keluar malam sendirian seperti yang pernah kulakukan di kota-kota Afrika lainnya. Aku rasa lebih baik menuruti kata-kata Abdul dan Alex untuk tidak keluar malam sendirian daripada mati konyol……..:-p. Maklumlah, aku belum pernah belajar ilmu kebal pelor. Kalau aku punya, ceritanya pasti sangat berbeda……:-)
Copyright: Jhon Erickson Ginting
Sumber: Pengalaman Pribadi
Wah gila, separah itu ya Nairobi. Padahal ada kantor PBB juga kan di sana. Emang ga ada polisi waktu malem ya? Keluar malem = bunuh diri. Wow!!!
Yup…begitulah Bam…Di kota-kota di Uganda, Malawi, Tanzania, dan Rwanda, aku masih berani keluar sampai jam 2 pagi karena rampoknya cuma pakai pisau….:-p Di Nairobi pakai AK-47, shotgun, pistol bahkan senapan mesin. Ilmu kebal gua udah ilang euy…..:-p, kalau nggak gua mungkin keluar juga…hahahahah
regards je
separah itu ya.. kok mengerikan banget sih afrika, makin kesini jadi makin ngeri aja.. 😦
Bukan cerita bohong Gan..Disana nyawa murah…Orang disana memandang kematian sangat berbeda..Biasa banget…Bunuh ya bunuh saja…Hampir setiap keluarga di Afrika pasti kehilangan minimal satu anggota keluarganya..Itu survey yang dilakukan oleh temanku yang lama bekerja di LSM di beberapa negara Afrika sana. Nairobi selain Johannesburg adalah dua kota yang rampoknya paling sadis….
ada saran gak bang, kira2 kerja apaan ya yg bisa menuntun kita untuk ngebolang kesana, gratisan i mean 😀
coz terus terang pengen banget berkelana ke sana
Kalau kesananya sulit mungkin gratisan Do…Cuma kalau sudah sampai sana bisa jadi sukarelawan. Sebenarnya aku ditawarin jadi sukarelawan disana, jadi guru di sebuah sekolah dasar sebuah NGO. Banyak yang nawarin cuma yang modal bahasa Inggris jangan pas-pasan..hehehehe..
regards
je
Pingback: Menyapa si Leher Jenjang di Kenya | bungamanggiasih.com
akhir bulan juni ini insya Allah saya akan kesana jadi volunteer…… Ada saran gak buat cewek yang akan ke sono ???
Eny, Seperti yang saya sebutkan di dalam tulisan saya, hindari keluar setelah jam 7 malam atau keluar sendirian sebelum jam 7. Dulu saya kesana pada saat lagi konflik jadi mungkin suasana lebih mencekam. Kalau voluntair biasanya jarang jadi sasaran. Selain itu jangan pernah percaya dengan orang yang tiba2 ramah dan menyapa di jalan. Selainnya, hidup normal seperti kebanyakan orang Nairobi. Selama dua hari pertama gangguan pasti akan datang tapi setelah beberapa hari, gangguan hilang sendirianya. regards J.E Ginting https://ginting.wordpress.com/
ih…serem banget ya…
Suamiku kebetulan hari ini terbang kesana dapat kontrak kerja disana, Pelaut. moga2 aman aja…gak tenang juga rasanya tiap hari….:'(
Mbak Adwa,
Saya kesana jaman konflik dan perampokan juga masih merajalela. Sekarang sepertinya Nairobi tidak seseram dulu lagi. Sudah kalah dari Port Moresby atau mungkin Johannesberg. regards J.E Ginting https://ginting.wordpress.com/
wow
Post yang menarik 🙂
Saya sudah pernah hidup di Nairobi selama 3 tahun and I basically spent my teenagehood (SMP kelas 1 sampai SMA kelas 1, tahun 2005-2008) there. Pengen ceritain perspektif berbeda dari Nairobi, tapi sepertinya bakal post di blog sendiri daripada di section komen ini hehe.
Dari blog kakak yang bisa saya simpulkan adalah bahwa pengalaman setiap orang beda-beda, terutama soal berapa lama berkunjung di suatu tempat, dengan siapa, persiapan, ekspektasi mengenai suatu tempat, and the list goes on. Soalnya, saya malah ngerasa Kenya bisa jadi destinasi traveling terindah thanks to Mombasa, Diani, Mt Kenya, Nakuru, Masai Mara, dan Nairobinya sendiri. Mungkin karena saya bepergian sama teman-teman yang sudah kenal dengan seluk beluk Nairobi dan tahu tempat2 yang asik, dan juga sama WNI yang menetap di sana sehingga melihat Kenya dari sisi yang berbeda.
Nairobi sendiri kaya dengan kulinernya yang variatif karena banyak expat dan orang asing yang menetap di sana sehingga kuliner asing biasanya di-handle oleh nativenya sendiri. Resto Itali chefnya orang Itali, resto Jepang chefnya orang Jepang asli, dan seterusnya sehingga resto2 di sana dijamin authenticitynya hehe. Selain itu, udara di Nairobi jauh lebih segar dibanding Jakarta karena orang2 di sana disiplin gak buang sampah sembarangan & mmg kotanya terletak 1795 m di atas permukaan air laut.
Hadu maaf kalo komennya makin panjang, tadi iseng blogwalking yg berbahasa Indonesia tentang Nairobi karena lagi kangen hehe. Salam kenal ya, semoga next time kalau ke Kenya bisa dapet pengalaman yang jauh lebih baik :))
Dear Sheila,
Bosan rasanya membalas reply seperti ini tapi mungkin lebih baik saya jelaskan sekali lagi. Kamu tidak mungkin membandingkan pengalaman saya dengan kamu yang baru kelas 1 SMP-1 SMA saat itu. Wajar saja yang kamu tahu hanya soal kuliner di restoran-restoran mewah karena sebagai anak diplomat atau expatriat, hidup mu kemana-mana pasti dijaga. Tak mungkin orang tuamu membiarkanmu bertemu dengan bekas kriminal dan jalan sendirian di sudut-sudut Nairobi yang tak bersahabat apalagi kamu perempuan. Kalau kamu melakukannya kemungkinan besar kamu tidak akan bertahan hidup sampai hari ini.
Sebagai konsultan perusahaan minyak saat itu saya sudah mersakan segala kemewahan di berbagai negara yang pernah saya tinggali. Makanya saya memilih negara-negara yang sedang konflik dan tak terkenala untuk saya kunjungi. Bukan ingin menikmati kuliner seperti pikiran seorang anak SMP atau SMA , tapi menikmati sisi lain dunia yang orang tak mau lihat. Saya sudah merasakan panasnya gurun dan perang di Irak serta dinginnya Mount Everest. Jadi, please jangan bandingkan pengalaman masa SMP-SMA mu dengan apa yang telah saya alami. Saya tertarik ke Nairobi karena memang disana dikatakan salah satu kota berbahaya dan sedang konflik saat itu. Kamu mungkin tidak akan survive. Selama di Kenya, saya pernah berkelahi dengan anak jalanan di Mombasa dan hampir dirampok di Nairobi. Semoga kamu bisa melihat sisi dunia yang lain yang tak ingin kamu lihat dan hanya bukan soal kuliner dan budaya……:-)
regards J.E Ginting https://ginting.wordpress.com/
Hahaha, baiklah. Santai saja ya Pak, saya bahkan gak membandingkan tapi menunjukkan kalau Kenya gak seburuk yang dilukiskan. Sebaiknya jangan dibandingkan juga Pak, soalnya background dan purpose keberadaan di Kenya kita kan ga comparable. Bukan kemewahan yang mau saya tekankan di sini, tetapi fakta bahwa,if you stayed there a little longer or tried to blend in with the people – secara bahasa maupun cara pembawaan – maybe you’d survive. Teman-teman saya kebanyakan orang Kenya dan mereka mengajak saya ke tempat-tempat seperti Kibera – urban slum terbesar di Afrika – dan memang HP teman saya juga dicopet di sana. Ke mana-mana saya naik matatudan ga pernah dijaga seperti yang mungkin bapak kira (seru juga sih kalau bisa begitu haha). Tapi namanya juga ke tempat-tempat seperti slumdan bawa orang Asia pula, gak mungkin kalau orang gak memperhatikan, bukan? 🙂 Bapak ke Kibera juga, kah?
Oh iya, waktu itu ada konflik apa ya Pak di Nairobi?
Hehehe……bingung saya kalau kamu tidak tahu ada konflik di Kenya awal tahun 2008. Sampai 1500 orang yang mati di Kenya saja kamu tidak tahu. Kemana aja nak? Googe search aja. Begini saja, daripada nulis panjang lebar.Saya hanya ingin bertanya, apakah kepalamu pernah ditodong pistol? saya pernah merasakannya walaupun dilakukan oleh seorang tentara secara tidak sengaja. Nah, orang yang menasehati saya untuk berhati-hati adalah orang yang pernah menodongkan pistol ke kepala seseorang di Nairobi (sang eks kriminal yg saya temui di Mombasa ) dan orang yang pernah ditodongin pistol kepalanya ( supir taksi saya). Apakah kamu pernah bertemu bekas perampok di Nairobi dan juga korban perampokan? Kalau saya tidak blend in, tak mungkin kedua orang ini menasehati saya. Walaupun begitu, saya tetap mencoba melanggar aturan yang dikasih tahu oleh mereka yaitu jangan keluar sebelum pukul 7 pagi dan pulang sebelum pukul 7 malam dengan jalan kaki. Pertanyaan saya, apakah kamu pernah keluar sendirian jalan kaki di Nairobi sebelum pukul 7 pagi dan setelah pukul 7 malam? Saya pernah melakukannya. Saya keluar pukul 6 pagi. Kota ini masih sangat sepi bahkan di jalan protokol seperti Kenyata Ave dan langsung jadi incaran walaupun akhirnya lolos oleh pertolongan orang-orang lokal yang mulai keluar setelah pukul 7 pagi. Ingat, yang saya kasih tahu di blog adalah kejadian di Nairobi pada malam hari. Seperti di kota-kota lainnya di Afrika dan bagain2 dunia lain, saya menyusuri Nairobi dengan jalan kaki termasuk ke Kibera (pada siang hari) walaupun saya tidak menyelusurinya karena tidak mau kejadian di Mombasa terjadi dimana saya harus bertarung dengan anak-anak jalanan yang menyerang saya. Ingat, Nairobi saat itu sepi dari traveler karena konflik di Kenya (yang sayangnya kamu tidak tahu soal itu) sehingga saya tak punya teman menikmati Nairobi dengan lebih ekstrim (tak perlu saya jelaskan). Seperti yang saya jelaskan di blog, siang hari hanya ada con artis yang berusaha menipu dan tak ada hal ekstrim yang terjadi pada saya. Yang saya ceritain disini adalah malam hari. Kalo siang hari biasanya bank dan institusi keuangan yang jadi sasaran perampokan bersenjata berat. Itulah kenapa bank2 di Kenya dijaga oleh sekuriti bersenjata berat (itupun kalau kamu aware). Yang ngasih tahu saya bekas perampok teman saya itu dan Alex sang korban perampokan yang notaben sejak lahir tinggal di Nairobi. BTW, coba tanya papa kamu apakah pernah kedutaan RI di Nairobi dirampok perampok bersenjata berat? Kalau dia bertuga cukup lama di Nairobi, papamu seharusnya tahu kalau KBRI Nairobi pernah dirampok. Kurang blend in apalgi saya coba sampai berteman dengan bekas perampok. Kalau saya tidak blend in ke tempat2 saya pergi, saya sudah mati dari dulu. BTW, Kamu tidak akan pernah mengerti juga walaupun saya kasih tahu panjang lebar. Saran saya, kamu pergilah kembali ke Afrika, ke Johanessberg di Afrika Selatan yang sekarang reputasinya lebih parah dari Nairobi. Nggak usah malam hari. Masuk ke sebuah lorong sepi di siang hari saja. Mungkin kamu baru mengerti apa yang saya katakan. Sub judul blog saya “adrenalin,survival, dan sedikit kenakalan”. Di sini saya tak bercerita hal2 yang umum. Satu lagi, sekuat apapun usahamu untuk blend in di sebuah kota kayak Nairobi, para penipu dan perampok tahu kamu orang baru disana. They are smart,” kata Abdul teman saya yang bekas rampok di Nairobi itu. Emangnya beberapa hari kamu di Nairobi,kamu langsung bisa blend in gitu? Begini saja nak, bagi kamu dan sebagian teman-temanmu, kecopetan di slum are seperti Kiberi mungkin sebuah pengalaman yang heboh. Tapi, bagi saya kecopetan itu normal dan tak ada heboh2nya. Kamu akan mengerti ketika seseorang menyerang kamu secara fisik seperti yang saya alami di Mombasa dan kamu harus mencari akal untuk menyelamatkan nyawamu. Dan, saya mengalaminya di berbagai tempat yang lain. Saya juga pernah kucing-kucingan dengan komplotan geng di perbatasan Kongo. Saya bukan tidak menghargai apa yang kamu alami selama 3 tahun hidup di Nairobi. Tapi, selama seminggu lebih saya di Kenya mulai dari Taveta di perbatasan dengan Tanzania sampai Busia yang berbatasan dengan Uganda, saya mengalami hal yang jauh lebih ekstrim daripada yang kamu alami selama tiga tahun karena saya memang sengaja mencarinya untuk memenuhi kebutuhan adrenalin saya. Which part of my writings you don’t understand?
regards
je